Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Tersebutlah seorang gadis, dia wanita karier. Pegawai di sebuah
instansi. Terkesan sang ayah ingin menguasai hartanya. Sang ayah sebagai
walinya selalu menolak setiap pinangan laki-laki yang hendak
menikahinya. Baik karena sebab atau tanpa sebab, semua ditolak
mentah-mentah. Sampai berlalu bertahun-tahun lamanya. Hingga dia
memasuki usia cukup tua, tidak lagi menjadi arah lirikan kaum lelaki.
Tidak disangka, ternyata sang wanita menahan rasa sakit hati mendalam
karena sikap orang tuanya. Namun dia tetap berusaha menjadi anak yang
berbakti.
Suatu ketika dia sakit karena tekanan batin yang dia alami. Tekanan
batin akibat kedzaliman orang tua, yang selalu menolak setiap lelaki
yang datang melamarnya. Sakitnya semakin parah, hingga akhirnya dia
harus opname di rumah sakit. Setelah menjalani perawatan yang cukup
lama, dengan takdir Allah, kematian menjemputnya. Namun tekanan batin
itu semakin membesar dan tak tertahankan. Di detik terakhir itulah dia
meluapkan perasaannya. Dia panggil ayahnya,
“Wahai ayahku.., ucapkanlah amiin..” dengan sigap, sang ayah
mengikutinya, “Amiin..” “Wahai ayahku.., ucapkanlah amiin..” dia
mengulangi. “Amii..n” sambut sang ayah. Hingga dialog singkat ini
diulang sebanyak tiga kali. Selanjutnya sang anak membaca doanya: “Saya memohon kepada Allah, agar Dia menghalangi ayah dari surga, sebagaimana ayah menghalangiku untuk menikah..!” Kemudian dia menemui ajalnya. (Dzulmul Mar’ah, hlm. 51)
Innaa lillahi wa inna ilaihi raajiuun. Musibah besar yang dialami sang ayah yang dzalim.
Kisah ini bukan untuk ditiru. Baik untuk pelaku maupun korban. Karena
jelas keduanya merugikan. Hanya saja anda bisa bayangkan, apa
keuntungan sang ayah dengan menolak sekian pinangan lelaki untuk
putrinya. Kriteria lelaki seperti apa yang dia inginkan untuk bisa
mendampingi putrinya. Mengapa dia tidak mengaca pada dirinya yang penuh
kekurangan, sementara dia diterima untuk menjadi suami bagi wanita yang
menjadi ibu anaknya.