Fragmen I:
Seorang laki-laki
berjalan hilir mudik. Raut wajahnya gelisah luar biasa.
Sebentar-sebentar terdengar helaan nafasnya. Menandakan kegundahan
hatinya.
Teman sekantornya pun menghampiri kemudian bertanya, “Bapak kenapa?”
Sang laki-laki yang gelisah pun menjawab, ”Saya baru dipanggil HRD,
kontrak saya tidak diperpanjang. Akhir bulan ini, terakhir saya bekerja
di kantor ini.” jawabnya lesu.
Teman sekantornya langsung berkomentar,”Ya Allah, pantas Bapak terlihat gelisah seperti itu.”
Sang laki-laki
menjawab lagi, ”Sebenarnya saya bukan gelisah karena kontrak tidak
diperpanjang. Saya yakin Allah Yang Maha Pemberi Rizki. Tapi, saya
sedang bingung bagaimana menghadapi istri saya di rumah. Saya pasti akan
ditanya-tanya kenapa, mengapa, bagaimana bisa, dan lain sebagainya yang
bahkan saya sendiri tidak tahu jawabannya.” jelasnya.
Ia kembali menghela
nafas sejenak kemudian berkata, “Belum lagi pertanyaan selanjutnya:
terus kita makan apa bulan depan? Bayar cicilan pakai apa? Dan
seterusnya. Membayangkan pertanyaannya saja saya sudah pusing. Sudah
cukup rasanya pusing di kepala saya ini karena kontrak diputuskan
sepihak. Tapi saya akan lebih pusing lagi kalau membayangkan harus
menjawab pertanyaan-pertanyaan istri saya. Sungguh, kepala saya rasanya
mau pecah. Tidak sanggup saya pulang rasanya.”
Fragmen 2
Di salah satu sisi dunia ini, berpuluh abad yang lalu.
Dalam
keadaan menggendong putra yang baru saja dilahirkannya. Seorang istri
diajak oleh suaminya untuk menempuh perjalanan jauh. Bahkan sangat jauh
untuk ukuran perjalanan zaman sekarang.
Sang
suami tak mengatakan pada istrinya kemana mereka hendak pergi. Sang
istri dengan ketaatan yang luar biasa pada suaminya pun hanya mengikuti.
Berkali-kali ia menguatkan hati untuk bertawakal kepada Allah. Di
tengah terik panas gurun pasir yang kering kerontang, sampailah mereka
di tempat tujuan. Di kiri kanan yang terlihat hanyalah pasir dan batu.
Tanpa pohon yang meneduhi. Tanpa sungai yang menyejukkan. Tanpa ada
seseorang yang dapat dimintai pertolongan.
Ditinggalkan dirinya dan sang anak yang masih menyusu padanya, oleh suaminya.
Sebelumnya,
sang istri yang sholihah ini pun akhirnya merasa harus bertanya,
satu-satunya pertanyaan yang perlu diyakini olehnya: ”Allah kah yang
memerintahkan ini?” Sang suami pun menjawab, dengan satu-satunya
jawaban yang mampu dijawab. Inilah keterbatasan seorang manusia yang
dipilih Allah sebagai kekasih-Nya. Dan jawabannya adalah, ”Iya”.
Ketawakalannya
yang luar biasa pun ditunjukkan sang istri dengan kata-kata selanjutnya
"Kalau begitu, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kita!"
Keyakinan sang istri pun kemudian dikuatkan dalam doa oleh sang suami tercinta,
“Ya
Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau
(Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar
mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur.”(Ibrahim: 37)
Fragmen 2
Bisa
jadi kita semua pernah mendengar atau membaca kisah ini. Kisah Nabi
Ibrahim yang karena perintah Allah harus meninggalkan Hajar dan anaknya
Ismail di padang pasir tandus. Ketika itu untuk menjawab pertanyaan
istrinya, Nabi Ibrahim bahkan hanya menjawab dengan satu kata tanpa
keterangan lainnya. Istrinya pun tidak menambahkan bebannya dengan
rentetan pertanyaan lanjutan. Padahal sesuai “kebiasaan” perempuan yang
haus keterangan, bayangkan bila kita di posisi Hajar. Apa yang kira-kira
akan kita lakukan?
Fragmen 1
Kisah
ini adalah kisah nyata dari seorang teman. Seorang suami yang
kebingungan. Tidak cukup bebannya harus mulai berpikir untuk mencari
pekerjaan lain. Harus ditambah pula dengan beban menjawab pertanyaan
istrinya. Bahkan menurutnya persoalan menjawab ini lebih dahsyat
daripada mencari pekerjaan baru. Apa yang kira-kira akan kita lakukan
bila suami kita dalam posisi ini?
*** Bila untuk mempelajari suami, kita harus menyatukan dua fragmen ini. Maka ketika harus menjawab pertanyaan istrinya, bisa jadi sang suami dalam fragmen 1 akan menjawab sama pendeknya dengan jawaban Nabi Ibrahim.
*** Bila untuk mempelajari suami, kita harus menyatukan dua fragmen ini. Maka ketika harus menjawab pertanyaan istrinya, bisa jadi sang suami dalam fragmen 1 akan menjawab sama pendeknya dengan jawaban Nabi Ibrahim.
Bukan
karena dia tak peduli. Tapi karena memang tidak punya jawaban. Dia
tidak mampu memikirkan jawaban apa yang akan mampu memuaskan
kekhawatiran istrinya. Bebannya sendiri sebagai pencari nafkah dalam
keluarga sudah tinggi. Belum lagi tanggungjawab atas keluarganya pada
Allah dipertaruhkan.
Maka apakah pantas; bila kita, para istri malah menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak membantu meringankan bebannya?
Bukankah kita ingin bersama menuju surga-Nya?
Bukankah kita tidak dicoba sebagaimana Hajar dicoba?
Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? (Al
Baqarah: 214)
Mari
kita buktikan menjadi istri yang menentramkan hati suami sebagaimana
diperintahkan dalam QS Ar-Rum: 21. Menghindarkan diri untuk mengeluarkan
pertanyaan-pertanyaan emosional. Berusaha lebih tenang. Belajar mencari
solusi bersama atas permasalahan keluarga.
Bukankah kita yakin, Allah Maha Kaya dan Maha Pemberi Kekayaan?
Ya Allah, bimbinglah kami…
Sumber: http://parentingnabawiyah.com
Judul Asli: Untuk Kita Semua, Para Istri: Mari Kita Belajar Menghindari Rentetan Pertanyaan Emosional