Senin, 21 Oktober 2013

PESAN-PESAN RÅSULULLÅH TENTANG MARAH

 

Råsulullåh shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengemban misi penyempurnaan akhlak mulia banyak memberikan contoh yang mengagumkan. Jadi berbagai pesan Råsulullåh shallallahu 'alaihi wa sallam bukan sekadar pesan kosong tanpa contoh nyata. Berikut adalah sebagian pesan Råsulullåh shallallahu 'alaihi wa sallam tentang menahan marah dan memberi maaf :



1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

1- «لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرْعَةِ وَلَكِنَّ الشَّدِيدَ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ»

Orang hebat itu bukanlah orang yang jago berkelahi, akan tetapi orang yang hebat itu adalah orang yang bisa menguasai diri ketika sedang marah.”[1]


2. Dari Humaid bin Abdurråhman dari seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berkata, “Ada seorang lelaki berkata, ‘Wahai Råsulullåh, berikanlah nasehat kepadaku.’ Råsulullåh shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda,

2- «لاَ تَغْضَبْ»

‘Janganlah engkau marah.’



Maka laki-laki tersebut berkata, ‘Lalu aku memikirkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Ternyata memang tidak ada dampak dari marah kecuali kejelekan belaka.’”[2]



3. Hadits Mu‘adz bin Anas dari bapaknya bahwa Råsulullåh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

3- «مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَلَى رُؤُوسِ الْخَلاَئِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ الْحُورِ شَاءَ»

“Barangsiapa yang menahan marahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, niscaya Allåh akan memanggilnya pada hari kiamat dengan disaksikan oleh semua makhluk hingga Allåh mempersilakannya memilih bidadari yang dia sukai.”[3]
4. Hadits Ubai bin Ka‘ab bahwa Råsulullåh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

4- «مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُشَرَّفَ لَهُ الْبُنْيَانُ وَتُرْفَعَ لَهُ الدَّرَجَاتُ فَلْيَعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَهُ وَيُعْطِ مَنْ حَرَّمَهُ وَيَصِلْ مَنْ قَطَعَهُ»

Barangsiapa yang merasa senang dibikinkan bangunan-bangunan dan ditinggikan derajatnya di surga, maka hendaknya dia memaafkan orang yang telah menzhaliminya, memberi sedekah kepada orang yang tidak mau memberi kepadanya, dan mengunjungi orang yang memutuskan tali persaudaraan dengannya.”[4]



5. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

5- «إِذَا كَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ نَادَى مُنَادٍ: أَيْنَ الْعَافُونَ عَنِ النَّاسِ؟ هَلُمُّوا إِلَى رَبِّكُمْ وَخُذُوا أُجُورَكُمْ وَحَقٌّ عَلَى كُلِّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِذَا عَفَا أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ»

“Apabila telah terjadi hari kiamat, ada seorang juru panggil yang menyeru, ‘Dimanakah orang-orang yang gemar memaafkan terhadap sesama? Menghadaplah kepada Rabb kalian, dan ambillah pahala-pahala kalian. Sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim yang gemar memberi maaf untuk masuk ke dalam surga.’”[5]
 


6. Hadits:

6- «مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ رَجُلاً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ»

Tidaklah berkurang harta seseorang itu karena dikeluarkan untuk sedekah, dan tidaklah Allåh menambahkan kepada orang yang pemaaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang itu merendahkan hati karena Allåh kecuali (kedudukannya) akan diangkat oleh Allåh Ta’ala.”[6]



MUTIARA SALAF SHALIH


Orang-orang terdahulu yang dekat dengan kehidupan Råsulullåh shallallahu 'alaihi wa sallam banyak yang berhasil belajar kepada perilaku beliau, langsung maupun tidak. Merekalah bagian dari para assalafus shalih yang banyak meninggalkan untuk kita, kilau mutiara perilaku yang mulia. Berikut beberapa di antaranya:


1. Dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, dia tidak akan melampiaskan kemarahannya, dan barangsiapa yang takut kepada Allåh, dia tidak akan berbuat semaunya. [7]


2. Suatu ketika ada seorang laki-laki mencaci-maki Ibnu Abbas. Setelah laki-laki itu menuntaskan caciannya, Ibnu Abbas berkata, “Wahai Ikrimah[8], coba tanyakan kepada lelaki itu, apakah dia punya kebutuhan sehingga kita bisa membantunya?” Mendengar hal itu, lelaki tersebut kemudian tertunduk malu.[9]
 

3. Salah seorang budak Abu Dzar datang kepadanya dengan membawa seekor kambing yang telah dipatahkan kakinya. Abu Dzar lantas bertanya kepadanya, “Siapakah yang telah mematahkan kaki kambing ini?” Budak tersebut menjawab, “Aku yang telah mematahkannya dengan sengaja agar engkau marah kemudian memukulku sehingga engkau berdosa karena itu.” Mendengar jawaban budak tersebut, Abu Dzar pun berkata, “Sungguh aku akan membuat marah setan yang telah mendorongmu membangkitkan kemarahanku.” Kemudian Abu Dzar memerdekakan budak tersebut.[10]
 

4. Ada seseorang yang mencaci-maki ‘Adi bin Hatim, sedangkan Adi hanya diam saja. Setelah orang tersebut merampungkan caciannya, ‘Adi berkata, “Jika memang masih ada pada dirimu bahan untuk mencaci, segera dihabiskan saja semuanya sebelum para pemuda datang ke sini. Karena mereka tidak akan terima jika mereka menyaksikan pemimpinnya dicaci maki.[11]


5. Umar bin Abdul Aziz pada suatu malam memasuki sebuah masjid. Tanpa sengaja ia menginjak kaki seseorang yang sedang tidur di dalamnya. Kontan orang itu pun terbangun dan berkata dengan nada emosi, “Apakah kamu ini gila?” Beliau menjawab, “Tidak.” Beberapa pengawal beliau bermaksud memukul orang tersebut, tetapi dicegah oleh beliau seraya berkata, “Pergilah kalian. Orang tersebut hanya bertanya apakah aku gila, lalu aku menjawab tidak.”


6. Ada seorang laki-laki datang menemui Ali Zainal Abidin lalu mencacinya. Maka bangkitlah murid-murid beliau bermaksud memukul laki-laki tersebut, tetapi beliau melarang mereka. Kemudian beliau mendatangi orang tersebut dan berkata, “Keburukan yang ada pada diriku masih sangat banyak yang tidak engkau ketahui. Apakah engkau mempunyai kebutuhan yang bisa aku bantu?Lalu beliau memberinya uang 1.000 dirham. Orang itu pun menjadi malu dan berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau benar-benar keturunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.”


7. Salim bin Abdullah bin Umar suatu ketika melakukan umrah. Ketika berada di Mina, karena amat sesaknya manusia, ada seseorang yang terdesak oleh beliau. Orang itu pun menjadi emosi lalu berkata, “Aku sangat yakin pasti kamu ini manusia yang sangat buruk.” Salim menukas, “Betul, dan tidak ada yang tahu tentang diriku kecuali kamu.”[12]
 

8. Ibnu Qayyim al-Jauziah berkata, “Dermawan itu ada sepuluh tingkatan.” Lalu beliau menyebutkannya satu per satu sampai pada tingkatan yang ketujuh beliau berkata, “Dan yang ketujuh adalah dermawan dengan kehormatan diri sebagaimana kedermawanan Abu Dhåmdhåm, salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Dhåmdhåm apabila datang waktu pagi beliau berdoa, ‘Ya Allah, aku tidak mempunyai harta yang bisa aku sedekahkan, akan tetapi aku hanya mempunyai kehormatan diriku yang akan aku sedekahkan kepada mereka. Maka barangsiapa yang mencaciku atau menuduhku, sungguh dia telah aku halalkan.’ Maka kemudian Råsulullåh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Siapakah di antara kalian yang bisa seperti Abu Dhåmdhåm?’[13]



Kebaikan apapun bentuknya bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Tersenyum dan ramah kepada sesama muslim saat bertemu, dan ini adalah amal yang paling mudah tanpa biaya, tidak banyak yang mempraktekkannya. Lebih-lebih perilaku mulia menahan marah dan memberi maaf. Namun bukan berarti tidak bisa, karena akhlak mulia memang mestinya menjadi akhlak setiap muslim. Tinggal bagaimana menata hati untuk membiasakannya di samping tak lupa menguntai kata dalam doa agar Allåh Ta’ala berkenan memudahkan kita untuk mewujudkannya. Sifat-sifat yang telah dijelaskan di muka --sebagaimana yang dikatakan Syaikh Abdurrahaman —merupakan sesuatu yang sangat berat kecuali bagi orang yang telah Allåh berikan kemudahan dan taufik, serta berusaha keras untuk bisa memiliki sifat-sifat itu.



Råsulullåh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya untuk mendapatkan ilmu haruslah dengan mempelajari ilmu tersebut, dan untuk bisa memiliki sifat sabar haruslah dengan melatih diri untuk bersabar.[14]
 


Mudah-mudahan Allåh Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua agar bisa memiliki sifat-sifat di atas. Amin. Wallahu A‘lam.



Sumber: http://atturots.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2783:akhlak-menahan-marah-memberi-maaf-&catid=65:adab-a-akhlak&Itemid=134




[1] Musnad Aĥmad no. 7178.
[2] Musnad Aĥmad no. 22660. Ibnu Katsir berkata, “Hanya Ahmad yang meriwayatkan hadits ini.”
[3] Musnad Aĥmad no. 4186, diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi dari Sa’id bin Abu Ayyub. Tirmidzi berkata, “Hadits ini hadits hasan gharib.”
[4] Hakim. Dia berkata, “Hadits sahih dengan syarat Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengeluarkannya.” Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir.
[5] Diriwayatkan dari jalan al-Dhåhhak. Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir.
[6] Shåĥiĥ Muslim no. 2588.
[7] Minhaj al-Qåsidin hal. 183.
[8] Nama salah seorang sahabat Nabi e.
[9] Minhaj al-Qåsidin hal. 18.
[10] Minhaj al-Qåsidin hal. 18.
[11] Minhaj al-Qåsidin hal. 18
[12] Shifat al-Shåfwah, Ibnul Jauzi II/90.
[13] Madarik al-Salikin II/293-295.
[14] Ahmad dan Tirmidzi.

Tidak ada komentar: