Umat Islam
memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi
yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang
satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan
sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
berpegang-teguh kepada Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم
مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى {123} وَمَنْ
أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Maka jika datang kepadamu
petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan
sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam menjelaskan kedua ayat ini,
Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin
kepada siapa saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di
dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.”
[Tafsir ath Thabari, 16/225].
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ
أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ
رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan
sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya.
(Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi,
Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis
Sunnah, hlm.
12-13).
KENYATAAN UMAT
Inilah yang
menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat Islam telah
berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki
prinsip-prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan.
Kenyataan seperti ini menjadi bukti kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau
telah memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup
beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Walaupun
demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita
diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat
telah memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Salah satu hal
terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti kaidah yang
benar dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani
rahimahullah
berkata, “Pada zaman ini, kita hidup bersama
kelompok-kelompok orang yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka
meyakini bahwa Islam adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi kebanyakan mereka
tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum
mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka,
sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku”, dan
seterusnya.
Oleh karena
itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan
pendapat, merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah
menuju jalan-jalan yang banyak. Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki,
kembalilah kepada al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu wajib kembali kepada apa yang
ada pada para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
para tabi’in dan para pengikut mereka setelah mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin
al Albani, hlm.
27, karya Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im Saliim].
RUJUKAN MEMAHAMI NASH
Syaikh Dr.
Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah dan
rujukan dalam memahami nash-nash (teks-teks) Alquran dan al-Hadits
di kitab kecil beliau, Mujmal
Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami
al-Kitab dan as-Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman
Salafush Shalih dan imam-imam yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah
pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan dengan kemungkinan-kemungkinan
(makna) bahasa [Mujmal
Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hlm. 7, Penerbit Darul Wathan].
Alquran dan
as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di antara
keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itul,
cara memahami al-Kitab dan as-Sunnah ialah dengan nash-nash al-Kitab dan
as-Sunnah itu sendiri. Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan,
hanyalah pemilik perkataan tersebut.
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam
memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut:
- Menafsirkan Alquran dengan Alquran
- Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah
- Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat
- Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para tabi’in
- Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang
paling benar dalam menafsirkan Al Quran ialah:
- Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain.
- Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat lainnya, Pen.], maka engkau wajib me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi Alquran.
- Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
- Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
- Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5).
Adapun kewajiban berpegang sesuai
dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam
yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain:
Firman Allah Ta’ala,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ
مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali. (Q.S an-Nisaa` : 115).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya,
keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Pen.) saling berkaitan.
Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Dan semua orang yang
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, berarti dia menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah
generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi
mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka
(yaitu generasi tabi’ut tabi’in).
(Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429;
Muslim, no. 2533; dan lainnya).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ
تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى
ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً
قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama.
Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di
dalam neraka kecuali satu agama. Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah
mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku.” (H.R Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan
lainnya; dari Abdullah bin ’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di
dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24).
SOLUSI PERPECAHAN UMAT
Berpegang
teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah (ajaran) para khulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di
saat umat menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain!
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kamu
untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum
muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa
hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu
berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk
dan lurus. Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara
baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan
semua bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud, no. 4607;
Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
Jika suatu istilah
telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman para
ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan alasan
makna bahasa.
Sebagai contoh, istilah rasul,
secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut istilah syara’ -menurut al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan
pemahaman ulama- rasul adalah seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat
(yang baru), dan diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya (orang-orang
kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam [lihat: ar-Rusul war-Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman
al-Asyqar; Al-Irsyad
ila Shahihil Itiqad,
hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan].
Namun, ada sebagian orang yang
menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah rasul, dan rasul
tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara
bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah,
sesat dan menyesatkan [penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari
Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia
beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus. Sedangkan orang ini mengaku
sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya! Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].
Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara
bahasa artinya mendekat, atau semua yang digunakan untuk mendekatkan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab ق ر
ب]. Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-Sunnah
-sesuai dengan pemahaman ulama- qurban adalah binatang ternak yang disembelih
pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada
Allah [Al-Wajiz fii Fiqhis
Sunnah wal Kitabil Aziz,
hlm. 405, Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th.
1421H/2001M]. Tetapi, Kelompok al-Zaitun, dengan alasan arti qurban secara
bahasa, kemudian mengusulkan dan mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk
membangun sarana pendidikan, dan manganggapnya sebagai qurban yang optimis dan
berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan
menyesatkan [lihat Aliran
dan Paham Sesat di Indonesia,
hlm. 48, Hartono Ahmad Jaiz].
Ini sebagian contoh kasus tentang
kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata me-ruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak.
Semua ini menyadarkan kita tentang perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai
dengan pemahaman Salafush Shalih. Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama
Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang dikenal kelurusan aqidah dan
manhaj mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan ilmu agama.
Hal itu dapat secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset,
dan semacamnya. Semoga
Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar