Jumat, 28 September 2012

Melawan Ideologi (teroris) dengan Ideologi (islam)

 
 Oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du
Di masa khalifah rasyidin terakhir, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, muncul sekelompok kaum muslimin yang menolak kesepakatan antara Ali dengan Muawiyah. Dalam posisi ekstrim, mereka mengkafirkan semua sahabat yang berpihak di kubu Ali maupun Muawiyah. Jadilah mereka kubu ketiga. Itulah kelompok khawarij.

Mereka bukan orang munafik. Mereka bukan orang yang malas beribadah. Sebaliknya banyak diantara mereka yang hafal Al-Quran. Dan hampir semuanya menghabiskan waktu malamnya hanya untuk membaca Al-Quran, berdzikir dan tahajud.

Peristiwa tahkim, kesepakatan damai antara Ali dengan Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma, yang diwakilkan kepada dua sahabat Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, menjadi pemicu sebagian masyarakat yang sok tahu dengan dalil untuk mengkafirkan Ali bin Abi Thalib. Karena peristiwa ini, pada saat Ali bin Abi Thalib berkhutbah, banyak orang meneriakkan:
لَا حُكْمَ إِلَّا لِلَّهِ
“Tidak ada hukum, kecuali hanya milik Allah.”
Mereka beranggapan, Ali telah menyerahkan hukum kepada manusia (Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu)
Mendengar celoteh banyak orang yang memojokkan beliau dengan kalimat di atas, Ali hanya memberikan komentar:
كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بِهاَ بَاطِل
“Kalimat yang benar, namun maksudnya batil”
Ali bin Abi Thalib tidak mengingkari kalimat tersebut. Tapi beliau menyalahkan tafsir yang menyimpang dari mereka yang sok tahu dengan dalil (Khawarij). [Simak Huqbah min At-Tarikh, Syaikh Utsman Al-Khamis, hlm. 122 – 124]


Terjadilah perang ideologi antara Ali bin Abi Thalib dengan orang Khawarij. Masing-masing membawa dalil. Bagaimana politik Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib?
Bukan pedang yang maju lebih dulu. Beliau juga tidak membentuk pasukan khusus untuk memberangus mereka. Tidak juga ada badan intelegen untuk mengintai mereka. Tapi, Ali mengajak mereka untuk untuk berdialog. Meluruskan kesalah-pahaman tentang Al-Quran yang mereka yakini. Ideologi dilawan dengan ideologi.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (no. 656), dari Abdullah bin Syaddad. Dalam riwayat yang panjang itu diceritakan:
فَبَعَثَ إِلَيْهِمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ , فَخَرَجْتُ مَعَهُ حَتَّى إِذَا تَوَسَّطْنَا عَسْكَرَهُمْ قَامَ ابْنُ الْكَوَّاءِ فَخَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ: يَا حَمَلَةَ الْقُرْآنِ إِنَّ هَذَا عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ , فَمَنْ لَمْ يَكُنْ يَعْرِفُهُ فَأَنَا أَعْرِفُهُ مِنْ كِتَابِ اللهِ , هَذَا مَنْ نَزَلَ فِيهِ وَفِي قَوْمِهِ {بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ} [الزخرف: 58] , فَرُدُّوهُ إِلَى صَاحِبِهِ , وَلَا تُوَاضِعُوهُ كِتَابَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ: فَقَامَ خُطَبَاؤُهُمْ فَقَالُوا: وَاللهِ لَنُوَاضِعَنَّهُ كِتَابَ اللهِ , فَإِذَا جَاءَنَا بِحَقٍّ نَعْرِفُهُ اتَّبَعْنَاهُ , وَلَئِنْ جَاءَنَا بِالْبَاطِلِ لَنُبَكِّتَنَّهُ بِبَاطِلِهِ , وَلَنَرُدَّنَّهُ إِلَى صَاحِبِهِ , فَوَاضَعُوهُ عَلَى كِتَابِ اللهِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ , فَرَجَعَ مِنْهُمْ أَرْبَعَةُ آلَافٍ , كُلُّهُمْ تَائِبٌ

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengutus Abdullah bin Abbas. Akupun (Abdullah bin Syaddad) ikut bersama beliau. Setelah kami sampai di tengah-tengah pasukan mereka, datanglah Ibnul Kawa’ (gembong khawarij), dan berceramah:
“Wahai para ahli Al-Quran, inilah Abdullah bin Abbas. Siapa yang belum mengenalnya, sungguh saya telah mengenalnya dari Al-Quran. Dia adalah orang, dimana Allah menurunkan ayat tentang dirinya dan kaumnya,
بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Mereka adalah orang yang suka berdebat (ngeyel).” (QS. Az-Zukhruf: 58).
Usir dia untuk kembali ke temannya (Ali) dan jangan diajak diskusi tentang kitab Allah.”
Namun tokoh khawarij lainnya bersikap sebaliknya, mereka mengatakan: “Demi Allah, sungguh kami akan berdiskusi dengannya tentang kitab Allah. Jika dia datang dengan membawa kebenaran yang kami kenal maka kami akan mengikutinya. Tapi jika dia datang dengan membawa kebatilan, akan kami lemparkan dia dengan kebatilannya, dan kami usir kembali ke temannya (Ali bin Abi Thalib).”
Merekapun berdiskusi dengan Ibnu Abbas tentang Al-Quran selama tiga hari (untuk mencari titik tengah mengenai peristiwa tahkim), akhirnya ada 4000 orang diantara mereka yang insaf, dan semuanya bertaubat. (HR. Ahmad, Tahqiq Ahmad Syakir, no. 656 dan beliau mengatakan: Sanadnya shahih).

Seperti yang kita pahami, mereka yang mengkafirkan pemerintah, bukan orang yang buta huruf Al-Quran. Para calon pengantin bidadari dengan bom bunuh diri, bukan orang yang benci islam. Mereka belajar, bahkan mereka menulis buku-buku tebal untuk membela ideologinya. Mereka melakukan teror itu, 100% atas dasar mengamalkan Al-Quran dan sunah. Itulah ideologi.

Memang kita tidak sehebat Ali dan Ibnu Abbas. Dan bahkan tidak perlu untuk dibandingkan. Namun setidaknya sikap mereka bisa kita tiru. Ideologi tidak tepat jika hanya dilawan dengan peluru. Ideologi tidak bisa dipenjarakan. Ideologi tidak bisa dilawan dengan kekerasan. Betapa banyak preman-preman mendekam di penjara yang menjadi calon-calon teroris baru. Setelah keluar dari penjara, sasaran mereka selanjutnya adalah pemerintah. Memenjarakan ideologi bisa jadi menularkan ideologi di penjara.
Allahu a’lam

Oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Tidak ada komentar: