Tidak
selamanya orang yang berada dalam kebaikan tidak pernah terjerumus
dalam kesalahan, itu lebih baik. Yang dahulu kufur, yang dahulu bejat,
lantas menjadi baik dan beriman dengan iman yang benar, bisa jadi ia
lebih baik. Karena yang diperhatikan adalah kondisi akhir seorang
muslim.
Ibnu Taimiyah rahimahullah memiliki perkataan menarik yang patut disimak:
Sebagian orang mengira bahwa seseorang yang lahir dalam keadaan Islam
dan tidak pernah berbuat kekufuran sama sekali, itu yang lebih baik
dari orang yang dulunya kafir kemudian masuk Islam. Anggapan ini
tidaklah benar. Yang benar standarnya adalah siapa yang akhir hidupnya
baik, yaitu siapa yang paling bertakwa kepada Allah di akhir masa
hidupnya, itulah yang lebih baik.
Sudah kita ketahui bersama, saabiqunal awwalun (orang-orang
yang pertama kali masuk Islam) dari kaum Muhajirin dan Anshar yang
dahulunya kufur lalu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka lebih
baik dari anak-anak mereka atau selain anak mereka yang lahir dalam
keadaan Islam.
Barangsiapa mengenal kejelekan dan ia merasakannya, lalu ia mengenal
kebaikan dan merasakan nikmatnya, maka ia tentu lebih mengenal dan
mencintai kebaikan tersebut serta membenci kejelekan daripada orang yang
tidak mengenal dan melakukan kebaikan atau kejelekan sebelumnya. Bahkan
orang yang hanya tahu perbuatan baik, ia bisa saja terjerumus dalam
kejelekan karena tidak mengetahui itu perbuatan jelek. Ia bisa terjatuh
di dalamnya atau ia tidak mengingkarinya. Hal ini berbeda dengan yang
telah merasakan kejelekan sebelumnya.
[Al Majmu’ Al Fatawa, 10: 300]
Sehingga jika seseorang yang dahulunya bejat lantas menjadi baik dan
sholih tidak selamanya kalah baiknya bahkan ia bisa jadi lebih baik dari
orang yang sejak dahulunya adalah orang yang baik-baik. Buktinya saja
kita dapat saksikan banyak penjahat yang menjadi ulama dan orang sholih,
bahkan mengalahkan orang yang dahulunya telah beriman. Karena sekali
lagi kondisi seorang muslim dilihat dari akhirnya. Ada sebagian yang
malah dahulu beriman dan sholih, namun saat ini dan akhir hidupnya malah
menjadi jelek.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ
أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، حَتَّى لاَ يَكُونُ
بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ إِلاَّ ذِرَاعٌ ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ ،
فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُ النَّارَ ، وَإِنَّ
أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ ، حَتَّى مَا يَكُونُ
بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ ،
فَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“Sesungguhnya
ada salah seorang di antara kalian beramal dengan amalan penduduk
surga, hingga antara ia dan surga tinggal satu hasta, lantas catatan
takdir mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amalan penduduk neraka,
lantas ia memasukinya. Dan ada pula yang pernah beramal dengan amalan
penduduk neraka, hingga antara ia dan neraka tinggal satu hasta, lantas
catatann takdir mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amalan penduduk
surga, lantas ia memasukinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari Sahl bin Sa’ad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung dari akhirnya.” (HR. Bukhari)
Ya Allah, jadikanlah akhir hidup kami menjadi akhir hidup yang baik.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Sakan 27 KSU, Riyadh, KSA, 18 Ramadhan 1433 H