Pertanyaan:
Assalamu’laikum.
Pak Ustadz, ada sebuah pertanyaan dari teman di Indonesia, yang saya kurang bisa menjawabnya, boleh saya menanyakan sesuatu?
Begini, kan Shalat itu untuk mencegah
perbuatan keji dan munkar, bagaimana jika ada orang (katakanlah si
fulan), dia tetap mengerjakan shalat, tapi ia tetap melakukan maksiat?
Si Fulan ini gemar melakukan maksiat, ia suka berzinah, atau berjudi , atau minum2.
Katakanlah, ia melakukan hanya salah
satu perbuatan maksiat tersebut diatas. Misalnya, si Fulan ini shalatnya
rajin, tetap kadang2 ia suka melakukan zina, tetapi setelah itu ia
shalat, tetapi selang beberapa waktu kemudian berzina lagi, dengan
anggapan daripada tidak shalat sama sekali, berzina sudah melakukan
suatu dosa, kalau tidak shalat, maka dosanya menjadi 2x lipat.
Begitu juga dengan si A, orang yg suka berjudi, judi jalan terus, shalatpun tidak ketinggalan.
Kalau begitu apa fungsi shalat bagi mereka? hanya sekedar kewajiban?
Apakah shalatnya diterima? atau karena ia merasa tidak mau mendapatkan dosa 2x lipat sehingga shalatnya tetap tdk ditinggalkan?
Dan jika dinasehati (karena sesama
muslim kita wajib menasehati), ia akan menjawab, hanya Tuhan yang Maha
Tahu, apakah pahala saya diterima atau tidak, bukan Anda yang berhak
mengadili saya. Apakah kita harus bersikap keras dengan orang tersebut?
atau lunak?
Karena anggaplah, orang ini mengerti tentang agama, tetapi tetap menjalankan maksiat (meski ia tidak meninggalkan kewajibannya).
Mohon jawaban dari Ustadz, beserta ayat2 Alqur’an mengenai hal tersebut diatas.
Terimakasih,
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
بسم الله الرحمن الرحيم.
الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
Pertama-tama yang harus saudari yakini adalah apa yang Allah Ta’ala sebutkan di dalam Al Quran;
{…وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ }
Artinya: “…dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan fahsya (dosa-dosa yang
diburukkan oleh syariat, akal dan nurani manusia, lebih banyak dipakai
dalam arti zina dan yang semisal dengannya) dan mungkar (segala macam
bentuk dosa dan kesalahan)”. (QS. Al Ankabut: 45)
Fahsya: dosa-dosa yang
diburukkan oleh syariat, akal dan nurani manusia, lebih banyak dipakai
dalam arti zina dan yang semisal dengannya.
Mungkar: segala macam bentuk dosa dan kesalahan.
Dari ayat ini kita bisa mengambil sebuah
pelajaran, bahwa shalat mencegah dari perbuatan fahsya dan mungkar,
tetapi perlu diingat shalat yang mencegah perbuatan fahsya dan mungkar
adalah shalat yang disempurnakan di dalamnya rukun-rukun,
kewajiban-kewajiban serta kekhusyu’annya, mari perhatikan perkataan yang
sangat bermakna dari ulama ahli tafsir abad ke 14 Hijriyyah, Syeikh Al
‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah:
ووجه كون الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر، أن العبد المقيم لها، المتمم لأركانها وشروطها وخشوعها، يستنير قلبه، ويتطهر فؤاده، ويزداد إيمانه، وتقوى رغبته في الخير، وتقل أو تعدم رغبته في الشر، فبالضرورة، مداومتها والمحافظة عليها على هذا الوجه، تنهى عن الفحشاء والمنكر، فهذا من أعظم مقاصدها وثمراتها. وثَمَّ في الصلاة مقصود أعظم من هذا وأكبر، وهو ما اشتملت عليه من ذكر اللّه، بالقلب واللسان والبدن. فإن اللّه تعالى، إنما خلق الخلق لعبادته، وأفضل عبادة تقع منهم الصلاة، وفيها من عبوديات الجوارح كلها، ما ليس في غيرها، ولهذا قال: { وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ }
Artinya: “Sisi keberadaan shalat
mencegah dari perbuatan fahsya dan mungkar yaitu; ketika seorang hamba
yang mendirikan shalat, menyempurnakan akan rukun-rukun, syarat-syarat
dan kekhusyu’annya, maka hatinya akan bersih, perasaannya akan jernih,
imannya akan bertambah, bertambah kuat keinginannya untuk melaksanakan
kebaikan dan berkurang atau hilang keinginannya untuk mengerjakan
keburukan, makanya pastinya, dengan selalu mengerjakan dan menjaga
shalat dalam keadaan yang seperti ini, maka shalatnya akan mencegah dari
perbuatan fahsya dan mungkar. Dan ini termasuk dari tujuan dan hasil
yang sangat agung dari shalat tersebut. Kemudian di dalam shalat juga,
terdapat tujuan yang lebih agung dan lebih besar dari ini, yaitu apa
yang terkumpul di dalamnya berupa mengingat Allah baik dengan hati,
lisan dan badan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan makhluknya
hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan ibadah yang paling utama dari
mereka (para makhluk) adalah shalat, karena di dalamnya terdapat
pengabdian seluruh anggota tubuh yang tidak terdapat dalam ibadah lain,
oleh sebab inilah Allah Ta’ala berfirman:
{ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ }
“Dan mengingat Allah adalah lebih agung”. (Lihat kitab Taisir Al Karim Ar Rahman, karya As Sa’di)
Kalau sudah difahami hal di atas, jadi
permasalahannya bukan pada penegasan yang ada pada ayatnya, tetapi lebih
kepada pelaku shalat itu sendiri yang kurang menyempurnakan rukun,
kewajiban atau khusyu’nya sehingga shalatnya tidak berfungsi sebagaimana
yang ditegaskan di dalam ayat yang mulia. Shalat bukan hanya sekedar
gerakan-gerakan tubuh yang tidak meninggalkan pengaruh dan bekas positif
dalam kehidupan sehari-hari agar senantiasa selalu taat kepada Allah
Ta’ala.
Kedua, memang benar
bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui amalannya ditolak atau
diterima Allah Ta’ala, karena hal itu adalah hak Allah Ta’ala semata
tiada sekutu bagi-Nya. Hal ini juga dikarenakan manusia adalah makhluk
yang kemampuan penalarannya terbatas, tidak mengetahui apakah pelaku
dari sebuah ibadah itu, ketika dia melakukannya benar-benar ikhlas atau
tidak. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
« إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلاَّ عُشْرُ صَلاَتِهِ تُسْعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا ».
Artinya: “Sesungguhnya seseorang
menyelesaikan (shalatnya) dan tidak dituliskan baginya melainkan 1/10,
1/9, 1/8, 1/7, 1/6, 1/5, 1/4, 1/3 dan ½ dari shalatnya”. (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Abu Daud)
Seseorang kadang terlihat melakukan amal ibadah ternyata dia penghuni neraka, coba perhatikan apa yang menyebabkan hal itu:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْتَقَى هُوَ وَالْمُشْرِكُونَ فَاقْتَتَلُوا ، فَلَمَّا مَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى عَسْكَرِهِ ، وَمَالَ الآخَرُونَ إِلَى عَسْكَرِهِمْ ، وَفِى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلٌ لاَ يَدَعُ لَهُمْ شَاذَّةً وَلاَ فَاذَّةً إِلاَّ اتَّبَعَهَا يَضْرِبُهَا بِسَيْفِهِ ، فَقَالَ مَا أَجْزَأَ مِنَّا الْيَوْمَ أَحَدٌ كَمَا أَجْزَأَ فُلاَنٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ » . فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ أَنَا صَاحِبُهُ . قَالَ فَخَرَجَ مَعَهُ كُلَّمَا وَقَفَ وَقَفَ مَعَهُ ، وَإِذَا أَسْرَعَ أَسْرَعَ مَعَهُ قَالَ فَجُرِحَ الرَّجُلُ جُرْحًا شَدِيدًا ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ بِالأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَى سَيْفِهِ ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ . قَالَ « وَمَا ذَاكَ » . قَالَ الرَّجُلُ الَّذِى ذَكَرْتَ آنِفًا أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ، فَأَعْظَمَ النَّاسُ ذَلِكَ . فَقُلْتُ أَنَا لَكُمْ بِهِ . فَخَرَجْتُ فِى طَلَبِهِ ، ثُمَّ جُرِحَ جُرْحًا شَدِيدًا ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ فِى الأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عِنْدَ ذَلِكَ « إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ ، وَهْوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ ، وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ » .
Sahl bin Sa’ad As Sa’idy radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan kaum
musyrik, lalu mereka berperang. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pulang ke tempat peristirahatan beliau dan dan yang lain pulang
ke tempat peristirahatan mereka, dan pada waktu di tengah-tengah para
shahabat Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam terdapat seorang lelaki
yang tidaklah dia bertemu dengan musuh melainkan dia ikuti dan dia tebas
dengan pedangnya. Lalu ada yang berkata: “Pada hari ini, tidak ada
seorangpun yang lebih berani sebagaimana beraninya si fulan”. Lalu Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dia
penghuni neraka”, kemudian seorang dari mereka (para shahabat) berkata:
“Aku yang akan menemaninya”, lalu dia pun keluar bersama dengan si fulan
tadi, berhenti dimana si fulan tadi berhenti dan jika si fulan bergerak
maka dia bergerak bersamanya, lalu akhirnya si fulan tadi terluka
dengan luka yang sangat parah, lalu dia menyegerakan kematian. Dia
letakkan gagang pedangnya di tanah dan ujungnya dia tancapkan diantara
kedua susunya (/di dadanya), kemudian dia tusukkan pedangnya tadi ke
dadanya dan akhirnya dia membunuh dirinya sendiri. Lalu orang (yang
mengikuti tadi) pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan berkata: “Aku bersyahadat bahwa engkau adalah Rasulullah”, beliau
bertanya: “Ada apa gerangan dengan syahadatmu itu?”, orang ini menjawab:
“Lelaki yang engkau sebutkan tadi dia adalah penghuni neraka, padahal
orang-orang mengagungkannya, dan aku katakan bahwa aku yang akan
menemaninya, lalu akupun mencarinya dan aku dapati dia dalam keadaan
terluka sangat parah, lalu dia menyegerakan kematian. Dia letakkan
gagang pedangnya di tanah dan ujungnya dia tancapkan diantara kedua
susunya (/di dadanya), kemudian dia tusukkan pedangnya tadi ke dadanya
dan akhirnya dia membunuh dirinya sendiri. Pada saat itu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang
benar-benar mengerjakan amalan penghuni surga menurut pandangan manusia,
padahal dia adalah penghuni neraka dan seseorang benar-benar
mengerjakan amalan penghuni neraka menurut pandangan manusia, padahal
dia adalah penghuni surga”. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Ketiga, perlu diketahui
bahwa dosa-dosa yang dikerjakan oleh seseorang, baik dosa kecil apalagi
dosa besar, tidak menjadikannya sebagai sebuah alasan untuk
meninggalkan shalat, karena shalat lima waktu diwajibkan bagi seorang
muslim baligh dan berakal dalam keadaan bagaimanapun kecuali wanita yang
haid.
Sekali lagi perlu diingat baik-baik,
maksiat yang dilakukan oleh seseorang tidak boleh dijadikan sebagai
alasan untuk meninggalkan shalat lima waktu, apapun maksiat yang
dilakukan. Dia harus tetap shalat dan tidak boleh meninggalkannya hanya
karena dia melakukan maksiat, semoga shalatnya mencegahnya dari
melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana Firman
Allah Ta’ala:
وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ [العنكبوت:45].
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan fahsya dan mungkar”. (QS. Al Ankabut: 45)
Al Baidhawi berkata di dalam kitab
tafsir: “Shalatnya akan menjadi sebab untuk menghentikan
maksiat-maksiat, ketika dia sibuk dengan shalatnya atau sibuk dengan
selainnya dari amalan yang mengingatkan kepada Allah dan mewariskan
kepada dirinya perasaan takut kepada-Nya. (Lihat Tafsir Al Baidhawi)
Akan tetapi siapa yang shalat, lalu dia
juga melakukan fahsya dan mungkar, maka dia telah mencampurkan amal
shalih dengan keburukan, jika dosanya lebih banyak daripada pahalanya
maka dia akan binasa pada hari kiamat kecuali jika dia mendapatkan
rahmat Allah Ta’ala.
Keempat, yang harus dilakukan kepada
orang seperti ini adalah menasehatinya dengan lembut dan perkataan yang
baik, dengan menjelaskan bahwa seorang hamba Allah Ta’ala semestinya
harus benar-benar total dalam menghambakan dirinya kepada Allah Ta’ala,
tidak setengah-setengah sesuai dengan kehendak hawa nafsunya. Allah
Ta’ala berfirman:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ} [البقرة: 208]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu
turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagimu”. (QS. Al Baqarah: 208)
Mujahid rahimahullah berkata: “Kerjakanlah seluruh amal dan perbutan baik”.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Masuklah kalian ke dalam syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam dan janganlah kalian tinggalkan sedikitpun darinya, hal itu
sudah mencukupi untuk beriman kepada kitab Taurat dan apa yang ada di
dalamnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Wallahu a’lam.
Sumber:
http://moslemsunnah.wordpress.com/2011/05/29/shalat-tapi-masih-maksiat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar