Dan di antara
kebaikan dari Allah Subhanahu wata’ala, adalah menciptakan ketenangan
dalam pasangan hidup, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir.” (ar Ruum: 21)
Rasa cinta yang
tumbuh antara suami istri adalah anugerah dari Allah Ta’ala, dan cinta
ini adalah sesuatu yg mubah dan naluri dan ini diperbolehkan karena
cinta asmara kepada pasangan hidupnya yang sah, dan ini terpuji bahkan
kesempurnaan yang harus dimiliki setiap suami istri.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugerahi rasa cinta
kepada para istrinya. Beliau nyatakan dalam sabdanya:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُنْيَا النِّسَاءُ وَ الطِّيْبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
“Dicintakan
kepadaku dari dunia kalian, para wanita (istri) dan minyak wangi, dan
dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.” (HR. Ahmad 3/128, 199, 285,
An-Nasa`i no. 3939 kitab ‘Isyratun Nisa’ bab Hubbun Nisa`. Dihasankan
Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i Rahimahullahu dalam Ash Shahihul
Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (1/82))
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh shahabatnya yang mulia, ‘Amr ibnul ‘Ash Radhiallahu’anhu:
أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ. فَقُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ : أَبُوْهَا
“Siapakah manusia
yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab: “Aisyah.” Aku (‘Amr ibnul
Ash) berkata: “Dari kalangan lelaki?” “Ayahnya (Abu Bakar),” jawab
beliau. (HR. Al Bukhari no. 3662, kitab Fadha`il Ashabun Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bab Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Lau Kuntu Muttakhidzan Khalilan” dan Muslim no. 6127 kitab
Fadha`ilush Shahabah, bab Min Fadha`il Abi Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu
‘anhu)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah ingin menjadi perantara dan
penolong seorang suami yang sangat mencintai istrinya untuk tetap
mempertahankan istri yang dicintainya dalam ikatan pernikahan dengannya.
Namun si wanita enggan dan tetap memilih untuk berpisah, sebagaimana
kisah Mughits dan Barirah. Barirah adalah seorang sahaya milik salah
seorang dari Bani Hilal. Sedangkan suaminya Mughits adalah seorang budak
berkulit hitam milik Bani Al Mughirah. Barirah pada akhirnya merdeka,
sementara suaminya masih berstatus budak. Ia pun memilih berpisah dengan
suaminya diiringi kesedihan Mughits atas perpisahan itu. Hingga
terlihat Mughits berjalan di belakang Barirah sembari berlinangan air
mata hingga membasahi jenggotnya, memohon kerelaan Barirah untuk tetap
hidup bersamanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada paman beliau, Al ’Abbas Radhiallahu ‘anhu:
يَا
عَبَّاسُ, أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيْثٍ بَرِيْرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ
بَرِيْرَةَ مُغِيْثًا؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: لَوْ رَاجَعْتِهِ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْمُرُنِي؟
قَالَ: إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ. قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيْهِ
“Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa cinta Mughits pada Barirah dan rasa benci Barirah terhadap Mughits?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Barirah: “Seandainya engkau kembali kepada Mughits.” Barirah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan aku?” “Tidak,” kata Rasulullah, “Akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.” “Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah (Lihat hadits dalam Shahih Al Bukhari no. 5280-5282, kitab Ath Thalaq, bab Khiyarul Amati Tahtal ‘Abd dan no. 5283, bab Syafa’atun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Zauji Barirah.)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Barirah: “Seandainya engkau kembali kepada Mughits.” Barirah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan aku?” “Tidak,” kata Rasulullah, “Akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.” “Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah (Lihat hadits dalam Shahih Al Bukhari no. 5280-5282, kitab Ath Thalaq, bab Khiyarul Amati Tahtal ‘Abd dan no. 5283, bab Syafa’atun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Zauji Barirah.)
Tiga macam cinta menurut al Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu
Perlu diketahui
oleh sepasang suami istri, menurut al Imam al ’Allamah Syamsuddin Abu
Abdillah Muhammad bin Abi Bakar yang lebih dikenal dengan Ibnu Qayyim al
Jauziyyah Rahimahullahu, ada tiga macam cinta dari seorang insan kepada
insan lainnya:
Pertama: Cinta asmara yang terpuji bahkan merupakan amal ketaatan.
Yaitu cinta
seorang suami kepada istrinya, demikian pula sebaliknya. Ini adalah
cinta yang bermanfaat. Karena akan mengantarkan kepada tujuan yang
disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam pernikahan, akan menahan
pandangan dari yang haram dan mencegah jiwa/hati dari melihat kepada
selain istrinya. Karena itulah, cinta seperti ini dipuji di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan di sisi manusia.
Perlu diperhatikan: Tentu
cinta antara suami istri yang seperti ini jangan sampai mengakibatkan
lalainya dia dzikir kepada ar Rahman sebagaimana firman Allah Azza
wajalla,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا
أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu
dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka
itulah orang-orang yang rugi.” (al Munaafiquun: 9)
Jangan sampai
karena saking cintanya ia kepada istri, membuat ia memutuskan hubungan
dengan orangtua, ia rela mencuri, ia rela korupsi demi mencukupi
kebutuhan istri tercinta, wal ‘iyadzubillah.
Allah Azza wajalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada
yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka”
(at Taghaabuun: 14)
Dan yang lebih
berhaya lagi jika kecintaan ia terhadap istinya melebihi cintanya kepada
Allah dan rasul-nya. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ
إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ
كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ
اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (at Taubah: 24)
Oleh karena itu,
hendaknya ia mencintai istrinya karena Allah Ta’ala, bukan karena
syahwat dan birahi semata. Tetapi karena ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ثَلاثٌ
مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْماَنِ مَنْ كَانَ
اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُماَ وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي
الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَماَ يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِيْ النَّارِ
“Tiga hal yang
apabila ada pada seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman.
(Yaitu) seseorang yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada
selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya
melainkan karena Allah. Dan dia benci untuk kembali kepada kekafiran
setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia benci
untuk dilemparkan ke dalam api.” (Shahih, HR. Al Bukhari dan Muslim
dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu)
Kedua: Cinta asmara yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimurkai, bahkan dilaknat dan akan menjauhkan dari rahmat-Nya.
Yaitu cinta kepada
sesama jenis, seorang lelaki mencintai lelaki lain (homo) atau seorang
wanita mencintai sesama wanita (lesbian). Tidak ada yang ditimpa bala
dengan penyakit ini kecuali orang yang dijatuhkan dari pandangan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, hingga ia terusir dari pintu-Nya dan jauh hatinya
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyakit ini merupakan penghalang
terbesar yang memutuskan seorang hamba dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Cinta yang merupakan musibah ini merupakan tabiat kaum nabi Luth
‘alaihissalam hingga mereka lebih cenderung kepada sesama jenis daripada
pasangan hidup yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan:
لَعَمْرُكَ
إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ. فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ
مُشْرِقِينَ. فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ
حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ
“Demi umurmu (ya
Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan. Maka
mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari
akan terbit. Maka Kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah
dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.” (al Hijr:
71-74)
Obat dari penyakit
ini adalah minta tolong kepada Dzat Yang Maha membolak-balikkan hati,
berlindung kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, menyibukkan diri dengan
berdzikir/mengingat-Nya, mengganti rasa itu dengan cinta kepada-Nya dan
mendekati-Nya, memikirkan pedihnya akibat yang diterima karena cinta
petaka itu dan hilangnya kelezatan karena cinta itu. Bila seseorang
membiarkan jiwanya tenggelam dalam cinta ini, maka silahkan ia bertakbir
seperti takbir dalam shalat jenazah. Dan hendaklah ia mengetahui bahwa
musibah dan petaka telah menyelimuti dan menyelubunginya.
Ketiga: Cinta yang mubah yang datang tanpa dapat dikuasai.
Seperti ketika
seorang lelaki diceritakan tentang sosok wanita yang jelita lalu tumbuh
rasa suka di hatinya. Atau ia melihat wanita cantik secara tidak sengaja
hingga hatinya terpikat. Namun rasa suka/ cinta itu tidak mengantarnya
untuk berbuat maksiat. Datangnya begitu saja tanpa disengaja, sehingga
ia tidak diberi hukuman karena perasaannya itu. Tindakan yang paling
bermanfaat untuk dilakukan adalah menolak perasaan itu dan menyibukkan
diri dengan perkara yang lebih bermanfaat. Ia wajib menyembunyikan
perasaan tersebut, menjaga kehormatan dirinya (menjaga ‘iffah) dan
bersabar. Bila ia berbuat demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memberinya pahala dan menggantinya dengan perkara yang lebih baik karena
ia bersabar karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjaga ‘iffah-nya.
Juga karena ia meninggalkan untuk menaati hawa nafsunya dengan lebih
mengutamakan keridlaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ganjaran yang ada
di sisi-Nya. (ad Da`u wad Dawa`, hal. 370-371)
Wallahu a’lam bish shawab.
Bersambung: Kiat-kiat untuk mempererat cinta kasih suami istri dan menjaga keharmonisan di antara keduanya (ditunggu ya...)
Sumber: http://jalansunnah.wordpress.com/2012/03/05/menjaga-keharmonisan-dalam-rumah-tangga/
Baca juga: RIDHO SUAMI ITU SURGA BAGI PARA ISTRI (1)
1 komentar:
Terima kasih atas pengertian tentang cintanya nya ... KEEP BLOGING GAN..
Jual Rumah Surabaya
Kpr Rumah
Perumahan Murah di Bandung
Rumah dijual di Bogor
Posting Komentar