Jumat, 23 Oktober 2015

PERNIKAHANNYA HANYA BERTAHAN 4 BULAN



Kisah pedih dialami oleh Priyo (bukan nama sebenarnya). Hatinya hancur berkeping-keping mendapati istrinya telah melahirkan pada bulan keempat pernikahan mereka.
Semula, tak ada yang aneh dengan calon istrinya. Tubuhnya memang tidak langsing, namun wajahnya memuaskan. Ia menerima saja ketika orangtuanya menghendaki Priyo menikah dengan wanita dari tetangga kecamatan itu.
“Keluarganya kaya, Yo. Punya mobil, hartanya banyak, sawahnya luas,” bujuk orangtuanya saat itu.
Sebelum akad nikah, Priyo sempat mendengar ada tetangga yang datang menemui orangtuanya. “Sebaiknya jangan diteruskan proses itu Pak, kabarnya calon menantu Sampeyan itu anaknya nggak baik. Sering ganti-ganti pacar.”
Namun orangtuanya tetap kuekueh. “Mungkin tetangga kita iri karena kamu akan mendapatkan istri orang kaya, Yo,” tepis orangtuanya.
Hari pernikahan akhirnya tiba. Setelah akad nikah, resepsi pun berlangsung mewah. Setidaknya untuk ukuran orang desa.
Karena baru pertama kali menikah, Priyo tidak merasakan keanehan apa pun pada malam pertama. Ia merasa istrinya masih perawan dan baik-baik saja. Ia juga tidak curiga melihat perut istrinya yang agak besar. “Mungkin karena istriku gemuk,” pikirnya.
Namun, bulan demi bulan perut istrinya tampak semakin besar saja. Hingga di suatu hari pada bulan keempat pernikahan mereka, Priyo merasa bagai disambar petir di siang hari. Istrinya melahirkan.
“Baru empat bulan aku nikahi, baru empat bulan aku berhubungan dengannya, bagaimana mungkin dia bisa melahirkan?” Hati Priyo remuk redam. Kepalanya bertambah pusing melihat reaksi keluarga istrinya yang tampak tidak kaget menyambut kehadiran bayi itu. Rupanya mereka sudah tahu bahwa istri Priyo telah dihamili laki-laki lain sebelum menikah. Rupanya mereka buru-buru mencari calon menantu demi menutupi aib keluarga mereka. Bagi mereka saat ini, yang penting masyarakat melihat wanita itu telah menikah. Bayi itu tidak lahir tanpa ayah.
Merasa ditipu mentah-mentah, Priyo pun segera pulang meninggalkan rumah besar yang sempat membanggakan hatinya itu. Keluarga Priyo pun marah. Bukannya kecipratan kekayaan, mereka justru harus menanggung malu.
Benarlah sabda Rasulullah, hendaklah seorang muslim menjadikan agama sebagai pertimbangan utama memilih calon istri. Bukan karena kecantikan atau kekayaan.

لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُرْدِيهِنَّ ، وَلَا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُطْغِيهِنَّ ، وَانْكِحُوهُنَّ لِلدِّينِ ، وَلَأَمَةٌ سَوْدَاءُ خَرْقَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ

“Janganlah kalian menikahi perempuan karena cantiknya. Boleh jadi kecantikan tersebut akan membinasakannya. Jangan pula karena hartanya karena harta boleh jadi akan menyebabkannya melampaui batas. Menikahlah karena agama. Sungguh budak hitam yang cacat namun baik agamanya itu yang lebih baik” (HR. Ibnu Majah).
sumber: http://www.ukhtiindonesia.com/
berkaitan hadits tersebut admin tambahkan sedikit dari artikel Ustadz Aris Munandar, M.Pd.I. (http://ustadzaris.com/nikahilah-wanita-karena-agamanya)
Bahkan terdapat larangan menikahi perempuan bukan karena motivasi agama. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al Bazzar dan Baihaqi dari Abdullah bin Amr, Nabi bersabda,
لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُرْدِيهِنَّ ، وَلَا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُطْغِيهِنَّ ، وَانْكِحُوهُنَّ لِلدِّينِ ، وَلَأَمَةٌ سَوْدَاءُ خَرْقَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ
Janganlah kalian menikahi perempuan karena cantiknya. Boleh jadi kecantikan tersebut akan membinasakannya. Jangan pula karena hartanya karena harta boleh jadi akan menyebabkannya melampaui batas. Menikahlah karena agama. Sungguh budak hitam yang cacat namun baik agamannya itu yang lebih baik (Namun hadits ini dinilai sebagai hadits yang sangat lemah oleh al Albani dalam kajian beliau untuk Ibnu Majah no 1859-pent)
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa dekat-dekat dengan orang yang baik agamanya itulah yang terbaik dalam semua kondisi. Dengan dekat-dekat dengan mereka kita bisa mengambil manfaat dari akhlak, berkah dan tingkah-laku mereka. Terlebih lagi adalah istri karena istri adalah kawan tidur, ibu untuk anak-anak dan orang yang diberi amanah untuk menjaga harta dan rumah suami serta kehormatannya. Yang dimaksud dengan ‘taribat yadak’ adalah tangan dilekatkan ke tanah karena miskin”(Subulus Salam 4/431-432).

*** Sebagai tambahan berikut ini admin sertakan artikel:  HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL

Menikahi wanita hamil, ada beberapa kemungkinan:

Pertama, menikahi wanita yang hamil karena zina
Ada dua kemungkinan untuk bagian pertama ini:


1. Wanita tersebut hamil karena berzina dengan lelaki lain.

Pernikahan semacam ini batal, karena para lelaki dilarang melakukan hubungan dengan wanita yang hamil dengan mani orang lain. Dari Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسقي ماءه زرع غيره
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia menuangkan air maninya pada tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 16542)
Yang dimaksud tanaman orang lain adalah janin yang disebabkan air mani orang lain.
Ancaman dalam hadis ini menunjukkan larangan
2. Orang yang menikahi si wanita adalah lelaki yang menzinainya
Pendapat yang kuat dalam hal ini, wanita tersebut tidak boleh dinikahkan dengan lelaki yang menghamilinya, karena janin yang ada pada wanita ini disebabkan air mani yang haram, sehingga janin itu bukan anaknya, meskipun berasal dari air maninya. Dalam fatwa Lajnah Daimah dinyatakan,
وإذا كانت حاملا من الزنى، فلا تتزوج لا بالزاني ولا بغيره حتى تضع؛ لأن رحمها مشغول بنطفة لا تنسب للزاني، ولا لغيره تنسب لأمه، فالزاني لا ينسب إليه الطفل، مثلما قال النبي صلى الله عليه وسلم : الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Jika ada wanita yang hamil karena zina maka dia tidak boleh dinikahkan dengan lelaki yang menzinainya maupun lelaki lainnya, sampai si wanita melahirkan. Karena rahimnya sedang ada isinya, berupa janin yang tidak boleh dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, tidak pula kepada orang lain, tetapi dia dinasabkan ke ibunya. Lelaki pezina tidak diberi nasab hasil zinanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Anak itu milik yang punya kasur (suami), sementara lelaki yang berzina terhalang.'” (Fatwa Lajnah Daimah, 21:46).
Kedua, menikahi wanita hamil yang berpisah dengan suaminya
Wanita hamil yang berpisah dengan suaminya, baik karena cerai maupun ditinggal mati suaminya, wajib menjalani masa iddah. Masa iddah untuk wanita hamil adalah sampai melahirkan. Allah berfirman,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Para wanita hamil, masa iddahnya sampai mereka melahirkan.” (QS. At-Thalaq: 4)
Dengan demikian, menikahi wanita hamil yang berpisah dari suaminya, sejatinya sama dengan menikahi wanita di masa iddah. Pernikahan yang dilakukan di masa iddah ini termasuk pernikahan yang terlarang, dan statusnya batal. Allah berfirman,
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
Dan janganlah kamu berazam (bertekadi) untuk melakukan akad nikah, sampai masa iddah telah  habis.” (QS. Al Baqarah: 235).
Al-Fairuz Abadzi asy-Syafii menyebutkan,
ولا يجوز نكاح المعتدة من غيره لقوله تعالى (ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله) ولان العدة وجبت لحفظ النسب، فلو جوزنا فيها النكاح اختلط النسب وبطل المقصود
“Tidak boleh menikahi wanita yang menjalani masa ‘iddah setelah berpisah dari suaminya, berdasarkan firman Allah pada ayat di atas, dan mengingat adanya masa ‘iddah adalah untuk menjaga nasab. Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut, tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun menjadi sia-sia.” (al-Muhadzab beserta syarh, 16:240).
Salah satu diantara tujuan nikah adalah memperjelas nasab manusia.
Ketiga, menikahi istri yang sedang hamil
Sebagai contoh kasus, ada seorang suami yang menceraikan istrinya ketika hamil satu bulan. Setelah sang suami menyesali perbuatannya, dia ingin kembali lagi ke istrinya. Bagaimana hukumnya?
Ada beberapa keadaan untuk menjawab kasus ini,
Jika cerai yang dijatuhkan sang suami belum cerai tiga, maka dia masih punya hak untuk rujuk. Dan ketentuan rujuk ini hanya berlaku jika istri belum melahirkan janinnya. Kaitannya dengan ini, istilah yang lebih tepat untuk kasus di atas bukan menikah, tapi rujuk. Karena selama istri masih menjalani masa iddah, suami punya hak untuk rujuk, tanpa harus akad nikah.
Cerai yang dijatuhkan sang suami belum cerai tiga, namun istri sudah melahirkan bayinya. Dalam kondisi ini, suami tidak punya hak untuk rujuk, hanya saja dia bisa kembali ke istrinya dengan jalan menikah ulang. Artinya, dalam acara itu harus ada akad nikah baru, wali, saksi, dan suami wajib memberi mahar.
Jika cerai yang dijatuhkan suami adalah cerai yang ketiga maka suami tidak punya hak untuk rujuk, juga tidak boleh nikah lagi dengan istrinya, karena sudah 3 kali cerai. Selanjutnya sang istri menjalani masa iddah di tempat yang terpisah dari suaminya, sampai dia melahirkan. Setelah melahirkan, dia menjadi wanita tanpa suami, sehingga boleh menerima pinangan lelaki lain.
Allahu a’lam

Tidak ada komentar: