Harta haram mempunyai pengaruh yang sangat besar pada setiap individu.
Harta semacam ini bisa berpengaruh pada do’a, yaitu do’a sulit terkabul karena memakan harta haram. Juga amalan sholih jadi menurun karena mengonsumsi rizki yang tidak halal. Serta di akhirat, daging yang tumbuh dari hasil haram lebih pantas disantap oleh neraka, wallahul musta’an. Lalu bolehkah harta orang tua yang berpenghasilan haram dinikmati oleh anak?
Harta yang Haram
Seperti kita telah ketahui bahwa
harta haram itu ada dua macam sebagaimana dibagi oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, yaitu:
(1) harta yang haram karena zatnya seperti bangkai,
daging babi, dan darah; dan
(2) harta dari pekerjaan haram seperti dari
riba, jual beli yang mengandung unsur ghoror atau ketidakjelasan dan jual beli dengan melakukan tindak penipuan. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 21: 56-57.
Dan ada kaedah penting tentang harta haram jenis kedua yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,
أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.
“Sesuatu
yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang
mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan
jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Memakan Harta Haram dari Orang Tua
Para ulama menjelaskan bahwa memakan harta orang tua yang berpenghasilan yang haram, maka perlu dirinci sebagai berikut:
1- Jika seluruh sumber pendapatan
berasal dari penghasilan yang haram, maka tidak boleh anak menikmati
penghasilan tersebut jika ia mampu untuk bekerja baik penghasilannya
berasal dari harta haram seluruhnya atau mayoritasnya.
2- Jika anak dalam keadaan
terpaksa memanfaatkan penghasilan orang tua dan tidak ada cara lain
untuk mencukupi kebutuhan anak, maka tidaklah mengapa memakan harta
seperti itu dan dosa ketika itu untuk orang tuanya saja.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا
أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Baqarah: 173). Yang dimaksud keadaan darurat di sini adalah
menurut sangkaan seseorang bisa binasa atau tidak bisa memikul
kesulitan. Keadaan darurat boleh membolehkan sesuatu yang diharamkan,
namun sesuai kadarnya. Dalam ilmu kaedah fikih disebutkan,
وَ كُلُّ مَحْظُوْرٍ مَعَ الضَّرُوْرَةِ
بِقَدْرِ مَا تَحْتَاجُهُ الضَّرُوْرَة
Setiap larangan boleh diterjang saat darurat,
Namun sekadar yang dibutuhkan untuk menghilangkan darurat.
Artinya jika mengkonsumsi harta
dari penghasilan haram tadi sudah menghilangkan bahaya atau mendapati
penggantinya, maka memakan yang haram tadi dijauhi.
Lihat Fatwa Islamweb.
Demikian secara ringkas. Kita
memohon kepada Allah moga dimudahkan mencari rizki yang halal dan
dijauhkan dari rizki yang diharamkan. Hanya Allah yang memberi hidayah.
---