Imam Baqi bin Makhlad Al-Andalusi menyamar sebagai pengemis untuk mendengarkan ilmu dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Ini adalah kisah lain, termasuk kisah yang unik lagi menarik, yang
terjadi pada diri seorang alim daerah Maghrib, dari kalangan ulama yang
melakukan perjalanan dari Maghrib Aqsha ke arah timur. Seorang alim
daerah Maghribi ini bepergian ke timur untuk menemui salah seorang Imam
dan mengambil ilmu darinya. Namun, saat ia sampai kepadanya, ia
mendapatinya sedang di isolir dan di cekal , tidak boleh menemui
manusia. Maka, dia membuta taktik dan cara unik, sehingga dia bisa
bertemu dengannya dan mengambil ilmu darinya. Cara yang mungkin tak
pernah terbayangkan, kalau seandainya itu tidak terjadi. Dan, sejarah
adalah bapaknya keajaiban dan keunikan.
Tercantum di dalam Al-Manhajul Ahmad fi Tarajim Ashhabil Imam Ahmad, karya Al-Ulaimi, I: 177; dan dalam Ikhtisarun Nablusi li Thabaqatil Hanabilah, karya Ibnu Ya’la, hal.79, tentang biografi Imam Baqi bin Makhlad Al-Andalusi. Dia adalah Abu Abdurrahman Baqi bin Makhlad Al-Andalusi Al-Hafidz, lahir tahun 201 H. Dia melakukan perjalan ke Baghdad dengan kedua kakinya. Keinginan besarnya adalah bertemu dengan imam Ahmad bin Hanbal dan mengambil ilmu darinya.
Tercantum di dalam Al-Manhajul Ahmad fi Tarajim Ashhabil Imam Ahmad, karya Al-Ulaimi, I: 177; dan dalam Ikhtisarun Nablusi li Thabaqatil Hanabilah, karya Ibnu Ya’la, hal.79, tentang biografi Imam Baqi bin Makhlad Al-Andalusi. Dia adalah Abu Abdurrahman Baqi bin Makhlad Al-Andalusi Al-Hafidz, lahir tahun 201 H. Dia melakukan perjalan ke Baghdad dengan kedua kakinya. Keinginan besarnya adalah bertemu dengan imam Ahmad bin Hanbal dan mengambil ilmu darinya.
Dikisahkan darinya, bahwa ia berkata, ‘Ketika aku hampir tiba di
Baghdad, aku mendengar berita ujian yang menimpa Ahmad bin Hanbal. Dan,
ia pun dilarang berkumpul dan mendengarkan ilmu dari beliau. Aku sangat
sedih karenanya, lalu aku pun memilih tempat untuk singgah. Setelah aku
letakkan barang bawaanku di kamar yang aku kontrak di sebuah penginapan,
maka aku tidak melakukan apapun selain mendatangi masjid jami’ yang
besar. Aku ingin duduk bersama halaqah-halaqah yang ada, dan
mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
Aku mendatangi sebuah halaqah yang mulia, ternyata ada seorang laki-laki yang membeberkan keadaan para perawi, dia men-dha’if-kannya
dan menguatkan mereka. Aku bertanya kepada orang yang berada di
dekatku, ‘Siapa dia?’ Dia menjawab, ‘Yahya bin Ma’in.’ Maka, aku melihat
celah yang terbuka di dekatnya. Aku bergegas mendekat kepadanya, seraya
berkata, ‘Wahai Abu Zakariya, semoga Allah merahmatimu. Aku adalah
seorang laki-laki perantau, yang negerinya jauh. Aku ingin bertanya,
mohon jangan meremehkanku.’ Dia berkata kepadaku, ‘Katakanlah.’ Maka,
aku bertanya kepadanya tentang sebagian ahli hadits yang aku temui. Dia
merekomendasikan baik sebagian dari mereka, dan merekomendasikan cacat
sebagaian yang lainnya.
Di akhir pertanyaan, aku bertanya kepadanya tentang Hisyam bin Ammar,
aku sendiri banyak mengambil ilmu darinya. Yahya berkata, ‘Abul Walid
Hisyam bin Ammar, ahli shalat dari Damaskus, tsiqah bahakan di atas
tsiqah. Dan, kalau pun di balik pakaiannya terdapat kesombongan atau dia
menenteng kesombongan, maka itu tidak berpengaruh apa pun terhadapnya,
karena kebaikan dan kemuliannya.’ Maka, orang-orang yang berada di
halaqah berteriak, ‘Cukup bagimu, semoga Allah merahmatmu, yang lainnnya
juga memiliki pertanyaan.’
Akupun berkata sambil berdiri, ‘ Aku bertanya kepadamu tentang
seorang laki-laki, Ahmad bin Hanbal?’ Maka, Yahya bin Ma’in memandangku
heran, dia berkata kepadaku, ‘Orang seperti kita membeberkan Ahmad bin
Hanbal? Dia adalah Imam kamum muslimin, orang terbaik dan termulia dari
mereka.’
Aku pun keluar menecari tahu rumah Ahmad bin Hanbal. Kemudian,ada
orang menunjukkan diriku. Aku mengetuk pintu rumahnya. Dia pun keluar
dan membuka pintu. Dia melihat laki-laki yang belum dikenalnya. Aku
berkata, ‘Wahai Abu Abdillah, inilah seorang laki-laki perantau, yang
negerinya jauh. Ini adalah kedatanganku pertama kali di negeri ini. Aku
pencari hadits dan pengumpul sunnah. Aku tidak melakukan perjalanan,
kecuali hanya kepadamu.’ Dia berkata kepadaku, ‘Masuklah lorong itu, dan
jangan sampai terlihat oleh seorang pun.’
Dia bertanya kepadaku, ‘Di mana negerimu?’ Aku menjawab, ‘Daerah
Maghrib yang jauh.’ Dia bertanya kepadaku, ‘Afrika?’ Aku menjawab,
‘Lebih jauh lagi. Aku menyeberangi lautan untuk tiba di Afrika. Negeriku
Andalus.’ Dia berkata, ‘Negerimu benar-benar jauh. Tidak ada sesuatu
yang lebih aku sukai daripada membantu orang sepertimu dengan baik,
untuk mewujudkan keinginannya. Hanya saja, saat ini aku sedang
menghadapi ujian dengan sesuatu yang mungkin kamu telah
mendengarkannya.’ Aku berkata, ‘Benar, aku telah mendengarkannya, saat
aku berjalan ingin menemuimu dan hampir tiba di sini.’
Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Abdillah, ini adalah kedatanganku
yang pertama kali. Aku adalah orang yang tidak di kenal di kalangan
kalian. Jika Anda berkenan, aku akan datang setiap hari dengan menyamar
sebagai peminta-minta. Di depan pintu, aku akan mengucapkan apa yang
sering diucapkan para pengemis. Lalu, Anda keluar ke tempat ini.
Seandainya Anda tidak menyampaikan setiap hari kecuali hanya satu hadits
saja, maka itu sudah cukup bagiku.’ Dia menjawab, ‘Ya, dengan syarat
kamu jangan muncul di halaqah-halaqah, dan tidak pula kepada para ahli
hadits.’ Aku menjawab, ‘Aku janji.’
Pada hari berikutnya, akau mengambil ranting pohon dengan tanganku,
kemudian membebat kepalaku dengan kain. Kertas dan tinta aku sembunyikan
di balik lengan bajuku. Lalu, aku mendatanginya pintunya sambil teriak,
‘Pahala, semoga Allah merahmati kalian.’ Begitulah yang diterikkan oleh
para peminta-minta di sana. Maka, dia keluar kepadaku dan menutup
pintu. Dia menyampaikan dua, tiga hadits atau lebih kepadaku.
Aku terus melakukan hal itu sampai orang yang menimpakan ujian
kepadanya telah mati. Setelah itu, kepemimpinan di ambil alih oleh orang
yang berpegang kepada madzhab ahlussunnah. Maka, Ahmad bin Hanbal
kembali muncul, namanya naik daun. Dia dihormati di mata manusia,
ketokohannya terkenal, orang-orang berduyun-duyun mendatanginya. Dan,
dia semakin mengetahui kesabaranku yang sebenarnya. Jika aku mendatangi
halaqahnya, dia melapangkannya untukku dan mendekatkanku kepada dirinya.
Dia berkata kepada para ahli hadits, ‘Orang ini berhak menyandang
predikat sebagai pencari ilmu.’ Kemudian, dia menceritakan kisahku
bersamanya. Dia menyodorkan hadits kepadaku, membacakannya untukku, dan
aku membacakannya kepadanya.
Suatu ketika, aku jatuh sakit. Aku berusaha untuk segera sembuh. Imam
Ahmad bin Hanbal mencariku, karena aku tidak hadir di majelisnya. Dia
bertanya tentang diriku, dan ada yang memberi tahu perihal sakitku
kepadanya. Maka, dia langsung berdiri, berjalan untuk menjengukku
bersama orang banyak. Saat itu, aku terlentang di kamar yang aku sewa,
beralaskan tikar, berselimut kain dan buku-buku yang ada di kepalaku.
Aku mendengar suara gaduh di penginapanku. Aku mendengar mereka
berkata, ‘Dia di sana. Lihatlah ini imam kaum muslimin datang.’ Pemilik
penginapan pun datang kepadaku dengan tergopoh-gopoh. Dia berkata
kepadaku, ‘Wahai Abu Abdirrahman, ini Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal,
imam kaum muslimin datang menjengukmu.’
Imam Ahmad segera masuk. Dia duduk di sisi kepalaku. Kamar tersebut
penuh sesak dengan orang-orang sampai tidak muat. Sebagian dari mereka
berada di luar kamar dengan berdiri, sementara tergenggam pena di tangan
mereka. Imam Ahmad tidak mengatakan kepadaku melebihi dari kata-kata
ini. Dia berkata, ‘Wahai Abu Abdirrahman, berbahagialah dengan pahala
Allah. Engkau telah menjalani hari-hari sehat, yang tidak ada sakit
padanya. Dan, engkau sekarang sedang menjalani hari-hari sakit, yang
tidaj ada sehat padanya. Semoga Allah meninggikanmu kepada keselamatan,
dan mengusapkan kesembuhan kepadamu dengan tangan kanan-Nya.’ Aku
melihat pena-pena menulis lafazh yang Imam Ahmad ucapkan.
Kemudian, dia keluar meninggalkanku. Maka, penghuni penginapan
berbondong-bondong mndatangiku, mengasihiku, dan melayaniku dengan
pamrih agama dan ingin mendapatkan pahala dari Allah. Ada yang
membawakan kasur, ada yang membawakan selimut dan makanan-makanan yang
lezat. Dalam merawat diriku yang sedang sakit, mereka lebih perhatian
daripada keluargaku, seandainya kau berada di tengah-tengah mereka. Hal
itu karena aku telah di jenguk oleh seorang laki-laki shalih.
Baqi bin Makhlad wafat pada yahun 276 H. di Andalusia. Semoga Allah merahamatinya.
Sumber: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008
Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.
Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.
Artikel www.KisahMuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar