Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ
يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ
مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya orang yang
lewat di depan orang yang sedang shalat mengetahui dosa yang akan dipikulnya,
maka ia lebih baik berdiri empat puluh hari daripada harus lewat di depannya”
[HR. Al-Bukhaariy dan Muslim].
Menurut riwayat Al-Bazzaar
dari jalan lain :
أَرْبَعِينَ خَرِيفًا
“(lebih baik berdiri)
empat puluh tahun”.
Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
yang lain :
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى
شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ
فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila seorang di
antara kamu shalat dengan memasang sutrah[1] yang membatasinya dari
orang-orang, lalu ada seseorang yang ingin lewat di hadapannya, hendaknya
ia mencegahnya. Bila ia tidak mau,
perangilah dia sebab sesungguhnya dia adalah setan “ [HR. Al-Bukhaariy dan Muslim].
Dalam riwayat lain (Muslim) disebutkan :
فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
“Sesungguhnya dia bersama al-qarin (setan)”.
Hadits pertama menjadi dalil
keharaman lewat di muka orang yang sedang shalat, baik untuk shalat fardlu
maupun sunnah. Adapun hadits yang kedua
menerangkan bahwa bagi orang yang dilewati (ketika sedang shalat) wajib untuk
menolaknya. Dijelaskan oleh para ulama bahwa penolakan tersebut bisa dengan
isyarat (tangan) atau yang lainnya secara lemah lembut. Jika orang tersebut tidak mau berhenti, maka
boleh dengan cara yang lebih keras atau bahkan memeranginya (sesuai dengan dhahir
hadits) [2].
Dari Abu Shalih, dia berkata
:
رَأَيْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ
فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ يُصَلِّي إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ شَابٌّ
مِنْ بَنِي أَبِي مُعَيْطٍ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَدَفَعَ أَبُو سَعِيدٍ
فِي صَدْرِهِ فَنَظَرَ الشَّابُّ فَلَمْ يَجِدْ مَسَاغًا إِلَّا بَيْنَ يَدَيْهِ، فَعَادَ
لِيَجْتَازَ فَدَفَعَهُ أَبُو سَعِيدٍ أَشَدَّ مِنَ الْأُولَى فَنَالَ مِنْ أَبِي سَعِيدٍ،
ثُمَّ دَخَلَ عَلَى مَرْوَانَ فَشَكَا إِلَيْهِ مَا لَقِيَ مِنْ أَبِي سَعِيدٍ، وَدَخَلَ
أَبُو سَعِيدٍ خَلْفَهُ عَلَى مَرْوَانَ فَقَالَ: مَا لَكَ وَلِابْنِ أَخِيكَ يَا أَبَا
سَعِيدٍ؟ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
" إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ
أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ
فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ "
“Aku pernah melihat Abu Sa’iid
Al-Khudriy pada hari Jum’at
sedang shalat menghadap
sesuatu yang menghalangi
orang-orang yang lewat. Lalu ada
seorang pemuda Bani Abi Mu’aith hendak lewat di
hadapannya. Abu Sa’iid menahan
dada pemuda tersebut. Lalu pemuda itu memandang sekeliling, namun ia tidak mendapatkan jalan kecuali lewat di depan Abu Sa’iid. Abu Sa’id kembali mendorong pemuda itu lebih
keras dari dorongan yang pertama. Maka
dia mengadukan perlakuan Abu Sa’id tersebut kepada Marwan. Maka pemuda itu mengulangi lagi untuk lewat.
Abu Sa'iid kembali menahannya dengan lebih keras dari yang pertama. Kemudian
pemuda itu pergi meninggalkan Abu Sa'iid dan menemui Marwan, ia lalu mengadukan
peristiwa yang terjadi antara dirinya dengan Abu Sa'iid. Setelah itu Abu Sa'iid
ikut menemui Marwan. Marwan berkata : "Apa yang kau lakukan terhadap anak
saudaramu ini, wahai Abu Sa'id?". Abu Sa'iid menjawab : "Aku pernah
mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika
seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasinya dari orang,
kemudian ada seseorang yang hendak lewat dihadapannya maka hendaklah dicegah.
Jika dia tidak mau maka perangilah dia, karena dia adalah setan” [HR. Al-Bukhaariy].
Dari Wabrah, dia berkata :
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَشَدَّ
عَلَيْهِ أَنْ يُمَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ فِي صَلَاةٍ مِنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ
وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَسْوَدِ
”Aku tidak melihat ada orang
yang paling keras pendapatnya tentang orang-orang yang lewat di hadapan
seseorang yang sedang shalat melebihi Ibraahiim An-Nakha’iy dan Abdurrahman bin
Al-Aswad” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih].
Penolakan terhadap orang
yang lewat di depan orang yang sedang shalat adalah seukuran jarak antara dia
dengan sutrah (± 3 dzira’).
Barangsiapa yang lewat di hadapan orang yang shalat (munfarid
atau imam) lebih dari 3 dzira’ (di belakang sutrah) , maka
dia tidak mendapatkan dosa. Begitu pula
dengan orang yang melakukan shalat tidak perlu menghalangi orang yang lewat
seukuran jarak tersebut. Namun jika
seseorang lewat di hadapannya seukuran 3 dzira’ atau kurang, maka dia
berdosa. Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
لم نجد في البعد عن
السترة أكثر من هذا، فكان هذا حد البيان في أقصى الواجب من ذلك
“Kami tidak pernah menjumpai jarak antara sutrah
yang lebih dari ukuran itu (3 dzira’).
Inilah jarak maksimal yang wajib dihindari (untuk dilewati)” [Al-Muhallaa, 1/263].
Tidak mengapa atas satu
keperluan bagi seseorang melewati makmum ketika shalat berjama’ah berdasarkan
hadits dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya beliau berkata :
جِئْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ
عَلَى أَتَانٍ لَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ
بِعَرَفَةَ، .... فَمَرَرْنَا عَلَى بَعْضِ الصَّفِّ فَنَزَلْنَا وَتَرَكْنَاهَا تَرْتَعُ،
فَلَمْ يَقُلْ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا
“Aku datang bersama Al-Fadhl
dengan menunggangi keledai betina, sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
waktu itu sedang shalat mengimami orang-orang di
padang Arafah….. Lalu kami melewati sebagian shaff (lalu) turun padanya,
dan kami biarkan keledai makan rumput. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak berkata sepatahpun kepada kami tentang hal itu” [HR. Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy].[3]
Ini merupakan taqrir
(penetapan) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas perbuatan
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, karena Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak mungkin membiarkan kemungkaran yang ada di depannya
kecuali beliau cegah.
Kesimpulannya :
Dalil yang menunjukkan
keharaman melewati orang yang sedang shalat adalah sangat jelas bagi orang yang
memperhatikan. Tidak jarang kita lihat sebagian muslimin yang dengan seenaknya
melakukannya tanpa memperhatikan penghormatan bagi seseorang yang sedang
‘menghadap’ ke Rabbnya subhaanahu wa ta’ala. Wajib bagi kita yang telah mengetahuinya
untuk amar ma’ruf nahi munkar dan saling menasihati akan hal demikian
demi menegakkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
yang telah banyak ditinggalkan.
Adapun hikmah adanya
pelarangan untuk lewat di depan orang yang shalat dan penetapan perintah
menolak bagi yang melakukan shalat, antara lain[4] :
1.
Mencegah dosa orang yang lewat.
2.
Mencegah kerusakan shalat akibat orang yang lewat
tersebut.
3.
Mencegah kekurangan pahala shalat orang yang
dilalui, berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu :
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ، أَنْ لا يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَفْعَلْ،
فَإِنَّ الْمَارَّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصِلِّي أَنْقَصُ أَجْرًا مِنَ الْمُمَرِّ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang mampu di antara kalian untuk
tidak dilewati di depannya ketika shalat, hendaklah ia lakukan, karena orang
yang lewat di depan orang yang shalat akan mengurangi pahala orang
yang dilewatinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, ‘Abdurrazzaaq, dan
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir].
Wallaahu a’lam.
[1] Memasang
sutrah (batas/tabir) adalah wajib – wallaahu a’lam – pada
shalat sendirian (munfarid) dan bagi imam pada shalat jama’ah menurut
pendapat yang paling rajih (kuat) dari para ulama’ berdasarkan hadits :
لا تُصَلِّ إِلا إِلَى سُتْرَةٍ
“Jangan kamu shalat kecuali di hadapan sutrah” [HR. Muslim, Ibnu Khuzaimah, Haakim, dan Al-Baihaqiy].
Sutrah merupakan tabir penghalang yang dipasang di depan orang
shalat. Haram hukumnya lewat diantara sutrah
dengan orang yang yang sedang shalat, akan tetapi tidak mengapa lewat di
belakang sutrah. Sutrah
bisa berupa dinding, tiang, dsb. dengan ketentuan :
a.
Tinggi, minimal 1 dzira (hasta) berdasar
sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ، إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ
مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ
“Jika salah seorang di antara kalian shalat,
sesungguhnya terbatasi ia jika di depannya terdapat seukuran bagian belakang ar-rahl (pelana kendaraan tunggangan) ” [HR. Muslim]. Dijelaskan
oleh Atha’, Qatadah, Ats-Tsauri, dan Nafi’ bahwa ar-rahl itu seukuran 1
dzira’ (1 hasta = 46,2 cm).
b.
Jarak sutrah dengan tempat berdirinya orang
yang shalat, kurang lebih 3 dzira’, berdasarkan hadits :
كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ ثَلَاثَةُ أَذْرُعٍ
“Jarak antara beliau dengan tembok (yang dipakai untuk sutrah) adalah ada tiga dzira’”
[HR. Bukhari dan Ahmad].
[2] Lihat
penjelasan Ash-Shan’ani dalam bukunya Subulus-Salam Syarah Bulughul
Maram ketika menjelaskan hadits tersebut.
[3] Ibnu
Abdil-Barr berkata : “Hadits Ibnu ‘Abbas ini menjadi takhsis
(pengkhususan) hadits Abu Sa’id : ‘Jika salah seorang dari kalian shalat,
jangan biarkan seorangpun lewat di depannya ‘; karena hadits ini khusus
bagi imam dan shalat sendirian.
Sedangkan tidak ada yang memudlaratkan makmum siapapun orang yang lewat
di depannya berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas.
Ini semuanya tidak ada perselisihan di antara ulama“ [Fathul-Baariy, 1/572].
[4] Lihat Subulus-Salam
Bab “Sutrah/tabir Bagi Orang yang Shalat”