Senin, 30 Oktober 2023

MAKALAH: MACAM-MACAM AIR

 


 PENDAHULUAN

 A.    Latar Belakang

 

Salat adalah salah satu ibadah yang paling sering dilaksanakan terutama salat wajib lima waktu, namun pada pelaksanaannya salat tersebut tidak sah kecuali sebelumnya seluruh keadaan, pakaian, badan, tempat dan sebagainya dalam keadaan bersih dan suci, baik suci dari hadas besar, maupun hadas kecil, dan najis. Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Quran Surat Al-Maidah/5 ayat 6:

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

                   Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Sebagaimana dengan bunyi ayat di atas, maka dapat dipahami bahwa thaharah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan seorang muslim. Karena thaharah sebagai syarat sahnya salat, dan salat merupakan tiang agama. Tanpa thaharah yang benar salat seseorang tidak mungkin sempurna. Oleh karena itu, dikatakan pendahuluan dalam salat itu ialah thaharah. Mengingat ia adalah kunci salat sebagaimana dalam hadits Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ

Yang artinya, “Kunci shalat adalah thaharah” (Hadits Riwayat Tirmidzi)

Dalam hadits lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Artinya, “Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225)[1]

Oleh karena itu berdasarkan latar belakang diatas maka sangat penting untuk mengetahui tentang thaharah.

 

B.     Rumusan Masalah

 

1. Apakah pengertian thaharah?

2. Apa saja macam-macam air untuk thaharah beserta dalilnya?

 

 PEMBAHASAN

A.    Pengertian Thaharah

 

Ditinjau dari asal katanya, Thaharah (طهارة) dalam bahasa Arab bermakna An-Nadhzafah (النظافة), yaitu kebersihan. Namun yang dimaksud disini tentu bukan semata kebersihan. Thaharah dalam istilah para ahli fiqih adalah mencuci anggota tubuh tertentu dengan cara tertentu atau mengangkat hadats dan menghilangkan Najis. Thaharah terbagi menjadi 2 yaitu thaharah hakiki atau yang terkait dengan urusan najis, dan thaharah hukmi atau yang terkait dengan hadats (Sarwat, 2004).

Lalu apa saja yang bisa digunakan untuk thaharah? Sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Quran Surat Al-Maidah/5 ayat 6 maka yang dapat digunakan untuk thaharah adalah air, jika tidak apa maka bertayamun. Pada pembahasan makalah ini akan fokus terkait air yang dapat digunakan untuk thaharah.

Dalam pandangan syariah, air adalah benda yang istimewa dan punya kedudukan khusus, yaitu menjadi media utama untuk melakukan ibadah ritual berthaharah. Air merupakan media yang berfungsi untuk menghilangkan najis, sekaligus juga air itu berfungsi sebagai media yang syar'i untuk menghilangkan hadats. Meski benda lain juga bisa dijadikan media berthaharah, namun air adalah media yang utama. Sebagai contoh adalah tanah. Tanah memang dapat berfungsi untuk menghilangkan najis, tetapi yang utama tetap air. Najis berat seperti daging babi, disucikan dengan cara mencucinya dengan air 7 kali, tanah hanya salah satunya saja. Tanah memang bisa digunakan untuk bertayammum, namun selama masih ada air, tayammum masih belum dikerjakan.

 

B.     Macam-Macam Air Terkait Thaharaah

Tidak semua air bisa digunakan untuk bersuci. Ada beberapa keadan air yang tidak memungkinkan untuk digunakan untuk bersuci. Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, terkait dengan hukumnya untuk digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab fiqh, mereka membaginya menjadi 4 macam, yaitu: 1) air mutlaq, 2) air musta’mal, 3) air yang tercampur benda yang suci, 4) air yang tercampur dengan benda yang najis.

1.      Air Mutlaq

Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis. Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah (Sarwat, 2004).

Hukum air Mutlaq suci dan mensucikan  (Dr. Hafsah, 2016). Kemudian dalam bukunya Dr. Hafsah membagi Air Mutlaq ini menjadi:

a.      Air hujan, salju dan embun. Sebagaimana dalam Al-Quran surat Al-Furqon ayat 48:

وَأَنزَلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً طَهُورًا

Artinya, “Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.”

b.      Air laut. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang (air) laut:

هُوَ اَلطَّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Air laut itu suci dan menyucikan, bangkainya pun halal.” (HR. Abu Daud, no. 83; Tirmidzi, no. 69; An-Nasai, 1:50; Ibnu Majah, no. 386. Hadits ini sahih)[2]

c.       Air Zam-zam.

Dijelaskan dalam hadits dari Ali bin Abi thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta seember penuh air zam-zam. Beliau meminumnya dan juga menggunakannya untuk berwudhu.” (Hadits Riwayat Ahmad).

Para ulama bersepakat bolehnya menggunakan air tersebut untuk bersuci. Namun mereka mengatakan sebisa mungkin dijauhi untuk hal-hal yang rendah seperti membersihkan najis dan semacamnya. Al ‘Allamah Al Bahuti rahimahullah dalam Kasyful Qona’ mengatakan,

كَذَا يُكْرَهُ ( اسْتِعْمَالُ مَاءِ زَمْزَمَ فِي إزَالَةِ النَّجَسِ فَقَطْ ) تَشْرِيفًا لَهُ ، وَلَا يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي طَهَارَةِ الْحَدَثِ

Dimakruhkan menggunakan air_zam-zam untuk menghilangkan najis saja, dalam rangka untuk memuliakan air tersebut. Sedangkan menggunakannya untuk menghilangkan hadats tidaklah makruh.”[3]

Kemudian Sarwat (2004) dalam bukunnya memasukkan air sumur dan air sungai sebagai bagian dari air Mutlaq.

d.      Air sumur atau mata air.

Dalilnya hadits dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah?, padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang haidh, dibuang ke dalamnya daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu.” (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35)

e.       Air sungai.

Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci, karena dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahulu umat Islam terbiasa mandi, wudhu` atau membersihkan najis termasuk beristinja’ dengan air sungai

2.      Air Musta’mal

Kata musta'mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu ( استعمل - يستعمل) yang bermakna menggunakan atau memakai. Maka air musta'mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah, yaitu berwudhu atau mandi janabah. Air sisa bekas cuci tangan, cuci muka, cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah, statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal, karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi janabah. (Sarwat, 2004)

Batasan Volume 2 Qullah. Para ulama ketika membedakan air musta'mal dan bukan (ghairu) musta'mal, membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta'mal. Bila volume air itu telah melebihi volume minimal, maka air itu terbebas dari kemungkinan musta'mal. Itu berarti, air dalam jumlah tertentu, meski telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah, tidak terkena hukum sebagai air musta'mal. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis”. (HR Abu Dawud, Tirmidhi, Nasa’i, Ibnu Majah)

Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran yang berlaku di zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta’mal. Air itu suci secara fisik, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta’mal. (Sarwat, 2004)

 

3.      Air Yang Tercampur Benda Yang Suci

Maksudnya adalah air yang berubah karena telah bercampur dengan benda yang suci, seperti teh, kopi, sirup dan sejenisnya  sehingga hukumnya jika telah hilang kemutlaqkannya sebab berubah bau dan rasanya. Air ini hukumnya suci bagi dirinya sendiri tetapi tidak menyucikan bagi lainnya. (Dr. Hafsah, 2016)

Tentang kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya. Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus (HR. Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu Majah 1458). Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapus dan sidr itu hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan.

Sedangkan tentang air yang tercampur dengan tepung, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`. Dari Ummu Hani’ bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi bersama Maimunah radhiyallahu ‘anha dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari tepung. (HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240). (Sarwat, 2004)

 

4.      Air  Mutanajjis

Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampur dengan barang atau benda yang najis. Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau bisa juga sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Pada air yang volumenya sedikit, seperti air di dalam kolam kamar mandi, secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita akan mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang besar dan jumlah volume air yang kecil. Tapi dalam kasus bangkai anjing itu dibuang ke dalam danau yang luas, tentu tidak semua air di danau itu menjadi berubah najis, apalagi kalau airnya adalah air di lautan. Di laut sudah tidak terhitung jumlah najis, tetapi semua najis itu dibandingkan dengan jumlah volume air laut, tentu bisa diabaikan. Kecuali air laut yang berada di dekat- dekat sumber najis yang mengalami perubahan akibat tercemar najis, maka hukumnya juga ikut najis. (Sarwat, 2004)

Indikator Kenajisan Agar kita bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, maka para ulama membuat indikator, yaitu rasa, warna atau aromanya.

a.    Berubah Rasa, Warna atau Aroma.

Bila berubah rasa, warna atau aromanya Ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu iut menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.

b. Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aroma

Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan. Baik air itu sedikit atau pun banyak. Dalilnya adalah hadits tentang a`rabi (arab kampung) yang kencing di dalam masjid : Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anha bahwa seorang a`rabi telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan bukan untuk menyusahkan. (HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147 An-Nasai 56 Ibnu Majah 529). Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budha`ah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad 3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35)

                       

5.      Air Musakhkhan

Selain keadaan 4 air yang tersebut diatas, ada juga beberapa keadaan lain dari air yang mengandung hukum. Di antaranya adalah air musakhkhan (panas) baik karena dipanaskan oleh matahari (musyammasy) atau pun yang tidak.

 

1.  Air Musakhkhan Musyammasy

 

Air musakhkhan ( مسخّن ) artinya adalah air yang dipanaskan. Sedangkan musyammas ( مشمّس ) diambil dari kata syams yang artinya matahari. Jadi air musakhkhan musyammas artinya adalah air yang berubah suhunya menjadi panas akibat sinar matahari. Sedangkan air yang dipanaskan dengan kompor atau dengan pemanas listrik tidak termasuk ke dalam pembahasan disini. Hukum air ini untuk digunakan berthaharah menjadi khilaf di kalangan ulama.

 

1.1. Pendapat yang Membolehkan Mutlak

Pendapat ini mengatakan tidak ada bedanya antara air yang dipanaskan oleh matahari atau air putih biasa. Keduanya sama-sama suci dan mensucikan dan boleh digunakan tanpa ada kemakruhan. Yang berpendapat seperti ini adalah umumnya jumhur mazhab Al Hanafiyah dan Al Hanabilah. Bahkan sebagian ulama di kalangan Asy Syafi’iyah seperti Ar-Ruyani dan Al Imam An-Nawawi sekali pun juga berpendapat sama. [Al Majmu’ 1 187 dan Al Mughni 1 18-20]

 

1.2. Pendapat Yang Memakruhkan

Pendapat ini cenderung memakruhkan air yang dipanaskan oleh sinar matahari. Di antara mereka yang memakruhkannya adalah mazhab Al Malikiyah dalam pendapat yang muktamad sebagian ulama di kalangan mazhab dan sebagian Al Hanafiyah.

Pendapat yang kedua ini umumnya mengacu kepada atsar dari shahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Umar bin Al Khattab radhiyallahu anhu yang memakruhkan mandi dengan air yang dipanaskan oleh sinar matahari. Bahwa beliau memakruhkan mandi dengan menggunakan air musyammas (HR. Asy-Syafi’i)[4]

Larangan ini disinyalir berdasarkan kenyataan bahwa air yang dipanaskan lewat sinar matahari langsung akan berdampak negatif kepada kesehatan sebagaimana dikatakan oleh para pendukungnya sebagai  (یورث البرص ) yakni mengakibatkan penyakit belang. Jangan lakukan itu wahai Humaira’ karena dia akan membawa penyakit belang. (HR. Ad-Daruquthuny)[5]

Kemakruhan yang mereka kemukakan sesungguhnya hanya berada pada wilayah kesehatan bukan pada wilayah syariah.

Namun mereka yang mendukung pendapat ini seperti Ad-Dardir menyatakan air musyammas musakhkhan ini menjadi makruh digunakan untuk berthaharah manakala dilakukan di negeri yang panasnya sangat menyengat seperti di Hijaz (Saudi Arabia).

Sedangkan negeri yang tidak mengalami panas yang ekstrim seperti di Mesir atau Rum hukum makruhnya tidak berlaku. [6]

 

2.  Air Musakhkhan Ghairu Musyammasy

 

Musakhkhan ghairu musyammasy artinya adalah air yang menjadi panas tapi tidak karena terkena sinar matahari langsung.

Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa air yang ini tidak makruh untuk digunakan wudhu atau mandi janabah lantaran tidak ada dalil yang memakruhkan. Bahkan Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan meski air itu menjadi panas lantaran panasnya benda najis tetap saja air itu boleh digunakan untuk berthaharah.

Namun bila air itu bersuhu sangat tinggi sehingga sulit untuk menyempurnakan wudhu dengan betul-betul meratakan anggota wudhu dan air secara benar-benar (isbagh) hukumnya menjadi makruh bukan karena panasnya tetapi karena tidak bisa isbagh.[7]

 

KESIMPULAN


Air merupakan nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat penting bagi keberlangsungan makhluk hidup baik itu manusia, hewan ataupun tumbuhan. Khusus bagi manusia, air juga sangat dibutuhkan untuk beribadah kepada Allah yaitu untuk thaharah. Oleh karena itu setiap muslim yang sudah baligh wajib mengetahui ilmu tentang thaharah serta macam-macam air yang boleh dan tidak boleh digunakan untuk thaharah.

1.      Air yang boleh digunakan untuk thaharah meliputi:

ü  Air Mutlaq,

ü  Air Musta’mal yang volumenya minimal 2 qullah atau setara 270 liter.

 

2.      Air yang tidak boleh digunakan untuk thaharah meliputi:

ü  Air yang bercampur dengan benda suci contohnya air teh, sirup, kopi dan lainnya.

ü  Air Mutanajjis (air yang telah bercampur benda Najis)

 3.      Air yang terjadi khilaf diantara ulama, boleh atau tidak untukl thaharah yaitu Air Musakhkhan Musyammasy.

 

 DAFTAR PUSTAKA

 

Dr. Hafsah, M. (2016). buku Pembelajaran FIQH Edisi Revisi.pdf.

Sarwat, A. (2004). Fiqih Thaharah. Pustaka Al-Kautsar, 432.

 

 MAKALAH dibuat oleh: UMMU BASSAM
Mahasiswi STITMA (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Madani) Yogyakarta


(Boleh dicopas dengan syarat menyertakan sumber)

 

 



[1]  Tambihaat Al-Afham bi Syarh ‘Umdah Al-Ahkam. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Al-Khairiyah.

[2]   Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

[3]   Dikutip dari https://rumaysho.com/582-khasiat-air-zam-zam.html

[4]   [Dalil ini bukan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan atsar dari Umar bin Al Khattab. Al Imam Asy-Syafi’i menyebutkan hadits ini dalam kitab Al Umm jilid 1 halaman 3. Namun Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani dalam At-Talkhish jilid 1 halaman 22 menyebutkan bahwa sanad periwayatan atsar ini sangat lemah.]

[5]   [Hadits ini pun disinyalir oleh sebagian muhaqqiq sebagai hadits yang lemah sekali dari segi periwayatannya.]

[6]  [Asy-Syarhush-shaghir 1 16 dan Hasyiyatu Ad-Dasuqi 1 44]

[7]  [Asy-Syarhul Kabir 1 45]

Tidak ada komentar: